Kosmologi adalah konsep yang sudah dikenal orang Jawa sebelum datangnya pengaruh agama Hindu. Namun, dengan datangnya pengaruh Hindu India, konsep tersebut nuansa luarnya semakin disempurnakan meskipun isinya sama, atau ibaratnya ganti pakaian baru meskipun tubuhnya tetap yang lama. Oleh karena itu, rumah bagi orang Jawa tidak cukup hanya sekedar sebagai tempat tinggal. Rumah adalah satuan simbolik bagi pemiliknya sehingga kedudukan rumah adalah cerminan kepribadian dan kehidupan penghuninya. Dengan demikian, menganalisis rumah tradisional Jawa sama halnya membahas manusia Jawa dan kebudayaannya secara utuh.
Struktur vertikal rumah terdiri atas tiga tingkat pada bagian atas disebut kepala, dibagian tengah dusebut badan, sedangkan bagian bawah diumpamakan kaki (Yudaseputra, 1993:118). Rumah jawa adalah tiruan gunungan yang puncaknya menjulang tinggi keatas. Merupakan nama gunung yang dipercaya sebagaitempat para Dewa bersemayam (Prijatama, 1992:41, 54). Umumnya rumah tradisional Jawa bentuknya menyerupai Meru. Tidak aneh apabila dalam mistik kejawen, gunung anyang diimajinasikan Meruitu diwujudkan dalam bentuk gunungan wayang kulit purwayang disebut sebagai kajuyang artinya pohon kehidupan.
Sebagai ilustrasi dapat ditunjukkan ketika dalang wayang kulit purwa menancap kangunungan dengan posisi tepat di tengah-tengah kelir sebelum pertunjukan wayang dimulai. Gunungan atau kayon tersebut menggambarkan alam pikiran orang Jawa bahwa pada mulanya belum ada kelahiran masih awang-uwung, yang ada pertama hanya kaju. Tak lama kemudian gunungan itu pun ditarik ke bawah oleh sangdalang, melambangkan adanya penjilmaan zat pertama (gesang tumitis). Bahkan, kemudian yang menarik adalah gunungan tersebut ditarik ke bawah berhenti sampai tiga kali. Bisa jadi itu merupakan lambang tiga tataran pembukaan tatamali gaiyang letaknya di kepala sebagai sumber cipta atau baital makmur.
Tataran kedua tempatnya di dada merupakan sumber rasa yang dalam serat wirid hidayat jati disebut baital-mukaram. Tataran ketiga ada di bagian bawah, tempat kemaluan, tempat ini adalah sumber dari karsa atau baital mukadas. Gunungani tu pun kemudian pindah, bergerak sehingga tidak lagi di tengah. Hal demikian menyiratkan makna yang mendalam setelah adanya gerak kayon (gunungan) ditengah kelir tadi, menandakan ada kehidupan atau kaju, yaitu bayi akan lahir. Kayonatau gunung anyang esensinya adalah perwujudan rumah tradisional Jawa itu merupakan simbol hidup atau kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, rumah dalam pandangan hidup orang Jawa dipercaya sebagai penghubung bumi (dunia bawah) dan langit (dunia atas). Struktur ketinggiannya itu menjadi media dan axis mundi yang menghubungkan dunia manusia yang bersifat imanen dengan dunia gaib yang bersifat transenden.
Puncak dari struktur rumah adalah tempat keberadaan meta kosmos, dunia rohani yang gaib serba tidak tampak. Atap rumah yang menjulang keatas adalah simbol tunas yang siap menguncup, awal dari yang tunggal. Pada bagian atas puncak atap yang ada hanya awang uwung yang dalam pandangan lahiriah fenomena ini menggambarkan alam tunggal yang kosong, Namun secara batiniah alam tersebut tidak hanya bermakna kosong tetapi sekaligus berisi segalanya. Inilah pandangan orang Jawa dalam memaknai rumah sebagai media komunikasi ke yang kosong paradoks, yakni yang maha ada sekaligus yang tiada. Sang ada tidak terjangkau oleh pengalaman manusia di dunia ini. Dia tiada, kosong namun sekaligus segalanya yang ada, dan yang mungkin ada, kosong namun isi sepenuhnya manusia dunia dan semesta berasal dari sana.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470
No responses yet