Kyai Rajamala, Kapal “Titanic” Raja Surakarta

Di Museum Radyapustaka dan Museum Keraton Kasunanan Surakarta, acapkali anak kecil keder saat bola matanya menumbuk benda canthik atawa kepala perahu Kyai Rajamala. Canthik berujud wajah merah Rajamala ini terlihat seram dan menakutkan. Saban malam Selasa kliwon, benda ini diberi sesaji berupa sekar setaman, minuman kopi, dan srabi kocor dengan santan kelapa dan juruh (gula jawa yang dicairkan). Keras dan kekarnya kayu dapat diperiksa dari bekas dayung atawa wilah yang tersimpan di Museum Keraton Kasunanan. Sekadar diketahui, panjang dayung 6,8 m dan lebar ujungnya 30 cm.

Dalam serat Pratelan Wontenanipun Candhi, Reca, Patilsan, Padusan Sasamipun ing Karesidhenan Surakarta dibeberkan, kapal ini acap dipakai Paku Buwana IX (1861-1893) dan Paku Buwana X (1893-1939) untuk berekreasi ke Pesanggarahan Langenharjo lewat aliran Bengawan Solo. Pesanggarahan itu berjarak tujuh kilometer dari Keraton Surakarta. Darsiti Soeratman (1989) menjelaskan, kawasan pesanggrahan adalah tanah pangrembe, yaitu tanah milik raja yang dipersiapkan untuk memberikan hasil tertentu contohnya padi, rumput dan lainnya.

Di tepian sungai itu, Kyai Rajamala “diparkir” bersama beberapa kapal kecil seperti Kyai Sekonyar Rarasati, Kyai Bintang Timur, Nyai Wilutama, dan lainnya. PB IX sebenarnya hanyalah pewaris kapal. Pasalnya, perahu megah ini dibuat periode PB V (1820-1830) untuk menjemput putri Madura yang hendak dijadikan garwa prameswari. Tempo itu, belum muncul sarana kereta api. Orang hendak bepergian jauh masih tergantung pada transportasi jalur sungai. Di atas sungai raksasa, bebas Kyai Rajamala melenggang laksana kapal pesiar bagi keluarga bangsawan. Karena perahu berukuran jumbo, dua perangkat gamelan slendro-pelog bisa ditaruh di dalam kapal guna menghibur raja. Rasa takut ditepis sewaktu naik Kyai Rajamala, sebab mereka didampingi juru silem, juru mudi, dan juru pembelah.

Semasa PB IX memegang tampuk kekuasaan, perahu agung ini “dipermak”. Lebar dan panjang baita dikurangi lantaran kedalaman dan keluasan kali (sungai) mengalami penyusutan yang signifikan. Pujangga istana mengabarkan, selama proses perbaikan badan kapal, warga sekitar menderita sakit tanpa diketahui musababnya. Selepas kapal rampung digarap dan air sungai meninggi, Kyai Rajamala diturunkan dengan melibatkan tenaga ratusan orang. Yang memimpin proyek kerajaan ini ialah Mas Ngabehi Gadamenggala. Saking besarnya kapal, rantai-rantai besi berukuran selengan orang besar itu putus. Buahnya, banyak orang yang terpelanting. “Sareng tiyang-tiyang sami jungkel,” ujar penulis serat itu.

Rajamala melakukan perjalanan terakhir paling jauh, yakni ke Bangkalan, Madura. Kapal membelah sungai terpanjang di pulau Jawa dengan mengusung misi politik menjemput putri Sultan Tjakraningrat atas perintah PB VII (1830-1858). Perkawinan politik ini merupakan jurus ampuh mengikat hubungan pusat kekuasaan dengan daerah dan mencegah terjadinya pemberontakan. Rajamala dihias dengan lengkung-lengkung janur kuning, bendera dan plisir gula kelapa mengombak air. Tidak lupa pula alunan gamelan yang ditabuh di atas kapal sungguh menambah semaraknya suasana. Masyarakat yang tinggal di bibir sungai sangat riang melihat arak-arakan yang tidak mesti mereka jumpai setiap saat. Mereka ikut berpesta lumban (bermain air) di sungai.

Demikianlah riwayat Rajamala yang melegenda itu. Ia bukan barang klenik dan tidak untuk dijauhi. Sisa artefak kapal berupa canthik, dayung, dan jangkar sejatinya merupakan aset berharga yang menjadi saksi persambungan sungai-laut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *