(Makna) Taman Balekambang

Di sisi utara kota, dijumpai Taman Balekambang yang menarik disambangi. Taman kota yang dibangun Gusti Mangkunegara VII tahun 1921 ini lumrah dipakai publik untuk menitipkan lelah yang menggelayut. Apalagi di waktu pagi, ruang Balekambang nampak seperti perawan yang habis mandi keramas dan duduk menunggu pujaan hatinya. Kolam air dan hutan di tengah taman bagaikan wajah anggun putri Solo yang minta dielus lembut, sedangkan segenap binatang rusa laksana abdi dalem yang menjaga keindahan lingkungan kaputren.

Taman berusia seabad lebih itu memang cocok ditemploki nama “balekambang”. Mangkunegara VII tidak ngasal ketika memberi nama taman megah sebagai hadiah untuk masyarakat pendukungnya kala itu. Merujuk pustaka Sariné Basa Jawa karangan Padmasukaca (1967), istilah tersebut memuat makna omah satêngahe sagaran. Sedari awal berdiri, terdapat rumah yang berada di tengah kolam. Hal itu bisa dibuktikan dengan selembar foto lawas yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka, Mangkunegaran. Saking populernya di alam pemikiran Jawa, nama ”balekambang” memiliki sejumlah sinonim yang diinventarisasi pujangga Jawa modern, Padmasusastra (1898), yaitu pantimarta, prasika, yasakambang, m?ndakini, dan madekambang.

Sebetulnya, Mangkunegara VII membubuhkan nama “balekambang” terinspirasi dari beberapa cerita klasik yang berkembang dalam kehidupan wong Jawa. Meski Mangkunegara VII pernah bersekolah di Belanda dan mengadopsi konsep “garden city” milik bangsa Eropa, namun bukan berarti ia meluputkan sesobek kisah ketimuran. Sebagai aristokrat Jawa, pembesar istana berotak encer tersebut tak melepaskan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita pewayangan. Demikian pula perkara balekembang, dalam fragmen “Irawan Rabi” yang dibakukan Rêdisuta (1932) bisa dijumpai konsep griya balekambang.

Perlu dicukilkan kisahnya: Dèwi Sitisari lajêng kabêkta dhatêng griya balekambang, tulus anggènipun pêpasihan. Lajêng ada-ada… Mirêng kalêsiking tiyang, manawi pangantèn sampun panggih wontên griya balekambang, dênawa kalih lajêng marêpêki sarta angintip ing griya balekambang.

Dari roncean kalimat di muka, tersirat bahwa balekambang merupakan ruang nyaman dipersiapkan untuk pertemuan dan berkasih mesra suatu pasangan yang baru saja melepas masa lajang. Artinya, balekambang merupakan tempat nyaman yang diimpikan. Di samping paham jagad pewayangan, Mangkunegara VII menggandrungi warisan kuno leluhur Jawa.

Kosakata ”balekambang” dijumpai pula dalam cerita percandian. Berikut ini cuplikan riwayatnya yang tersekam dalam Serat Ardakandha (1905): ”Kajêng tuwan lajêng mariksa ingkang kawastanan talaga Balekabang ugi wontên agraning wukir Dièng, ing sanginggiling talaga wau wontên candhipun gangsal iji…, mênggah pandamêlipun botên sanès kados candhi ing Prambanan, punika tlaga Balekambang kaprênah sangajêngipun pasanggrahan...” Secuil fakta historis ini menuduhkan balekambang berada di lingkungan candi sarat dengan keteduhan, patirtan, dan kawasan asyik untuk plesiran publik. Orang-orang betah nglaras dan bercengkrama di situ. Kenyataan ini dirasakan pula oleh wong Solo dan sekitarnya sewaktu berekreasi di Taman Balekambang untuk keluar sejenak dari rutinitas dan mengobati kejenuhan.

Kita disadarkan bahwa Taman Balekambang merupakan warisan intelektual wong Jawa. Ia bukan sekadar ruang hijau untuk menanggulangi bencana banjir yang acap melanda Solo bagian utara puluhan tahun silam. Taman kota berikut nama yang dilekatkan adalah bukti lantip-nya leluhur menggarap taman modern tanpa kehilangan kejawaan. Ada mata rantai sejarah yang dirawat penggede di Surakarta untuk kemaslahatan kawula dalem.

 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

five × 5 =

Latest Comments