Masjid Gedhe hadir bersamaan dengan perpindahan ibukota Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala. Kayu masjid yang tersisa dari Kartasura turut dibawa saat boyong kedaton. Bangunan Masjid Gedhe masa Paku Buwono II hanya di bagian dalam saja, dan itu pun masih berbentuk sederhana. Seiring waktu bergulir, ada tahapan pengembangan bangunan Masjid Gedhe. Contohnya, ruang Pawestren yang berada di samping kiri-kanan dan menyerupai dapur dalam ruangan rumah tangga dibangun Paku Buwono VIII (1830-1875). Juga pembangunan Serambi yang mirip pendapa di rumah tradisional priyayi, dibangun Paku Buwono VIII pas berkuasa.
Bicara agama Islam, toleransi, dan kota kuno di Jawa segera yang membayang adalah Masjid Gedhe. Bangunan masjid memang tidak pernah luput ditempatkan dalam tata ruang istana Mataram Islam, kendati pusat pemerintahan kerajaan acapkali mengalami perpindahan lokasi lantaran berbagai hal. Di ibukota kerajaan seperti Demak, Pajang, Kota Gedhe, Pleret, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta selalu melekat situs Masjid Gedhe. Sekalipun artefaknya sudah roboh dan tak ditemukan jejak fisiknya, namun toponimi (asal-usul nama tempat) masjid masih dirawat warga dalam memori kolektif. Dalam situs-situs perkotaan tampak bahwa Masjid Gedhe berada di sebelah barat alun-alun. Juga bisa dipastikan berdekatan dengan kampung Kauman, tempat bermukim abdi dalem yang mengurusi masalah Islam.
Dalam pandangan Islam-Jawa yang mengedepankan toleransi, masjid tergolong sebagai “pusaka” yang tak ternilai di seluruh tanah Jawa. Sumber klasik Babad Tanah Jawa merekam bagaimana Paku Buwono I melukiskan kesakralan Masjid Gedhe dan makam sewaktu dia mengenang pusaka-pusaka keraton: “Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putera saya raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dam Makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati tanah Jawa”.
Bukti menjaga warisan leluhur adalah halaman masjid dipakai untuk gelaran upacara tradisional Grebeg Sekaten. Sebab, melalui cara itulah proses islamisasi bisa diterima masyarakat Jawa. Tidak harus lewat pemaksaan fisik dan penutupan tempat ibadah. Fakta berharga lainnya, yaitu Masjid Gedhe sangat terbuka bagi siapapun. Masjid Gedhe di Kota Solo misalnya, sedari dulu dikenal tidak “berideologi” alias bukan untuk kalangan Islam tertentu. Hal tersebut tidak lepas dari terobosan Paku Buwono X (1893-1939) yang memanfaatkan bahasa Jawa untuk komunikasi dalam acara khotbah di Masjid Gedhe.
Bahasa Jawa menjadi penyatu pemeluk Islam lokal yang baru, dan mereka bertatap muka di masjid kendati hanya seminggu sekali. Dengan begitu, Masjid Gedhe menjelma menjadi pusat dari kesatuan sosial muslim. Kesatuan sosial muslim itu beragam bentuknya. Ada kesatuan sosial dengan rukun kampung, komunitas abdi dalem, komunitas bangsawan, dan bentuk kesatuan lainnya. Saban Jumat mereka berhimpun, waktu dimana ulama atau seorang pemimpin mengucapkan khutbahnya di muka berbagai kesatuan sosial itu.
Dalam lingkungan kerajaan hidup pemikiran bahwa agama Islam maupun kebudayaan Jawa merupakan inti pendidikan moral dan etika untuk anak-anak pribumi. Agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah falsafah kehidupan yang diyakini masyarakat Jawa dan mengutamakan rasa. Tak ayal, toleransi terus dipupuk, dan kerukunan sosial senantiasa dijaga. Demikianlah, situs Masjid Gedhe di Solo menyimpan kisah apik islamisasi dan kearifan masa lalu dalam mengelola toleransi, tanpa memakai kekerasan (Heri Priyatmoko, 2014).
No responses yet