Ogoh-ogoh adalah karya seni patung yang diarak dalam sebuah pawai menuju perayaan Hari Nyepi. Bagi masyarakat Bali, ogoh-ogoh tidak hanya sekedar ritual keagamaan, tetapi kental dengan nuansa kekeluargaan serta ajang kesenian dan kreativitas. Dalam buku yang disusun oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, dijelaskan bahwa asal muasal tradisi ini adalah bentuk ekspresi kegembiraan masyarakat Bali setelah ditetapkannya Hari Raya Nyepi sebagai a Hari Libur Nasional oleh Presiden Soeharto. Ide pawai ini diinisiasi oleh Gubernur Bali kala itu, Ida Bagus Mantra, sebagai bagian dari ritual pengerupukan sebelum Hari Raya Nyepi.
Kata ogoh-ogoh sendiri berarti ondel-ondel yang menyeramkan, sementara dalam bahasa bali berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh merujuk pada benda patung yang diarak mengelilingi desa sebelum akhirnya dibakar. Tradisi pawai ogoh-ogoh ini merupakan tradisi yang tergolong baru namun sudah berakar ke tradisi masa lalu. Masyarakat awam sering mengira ogoh-ogoh merupakan ajaran agama Hindu, padahal pada nyatanya kegiatan ini merupakan murni kreativita umat Hindu di Bali. Ada pendapat yang menyatakan bahwa cikal bakal aogoh-ogoh adalah patung lelakut yang berfungsi untuk mengusir burung oleh petani di sawah.
Pawai ogoh-ogoh dilakukan pada malam tahun baru Saka atau malam Hari Raya Nyepi, bersamaan dengan upacara ngarupukan (pengerupukan) atau upacara pembersihan. Pangarupukan dilakukan malam hari dengan cara menyebar nasi tawur (sesaji), menaruh obor di rumah-rumah dan pekarangan, serta memukul kentongan untuk membuat bunyi-bunyian gadung. Pada saat ini, ogoh-ogoh diarak berkeliling desa menuju tempat pembakaran ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh dibuat dengan simbol Butha Kala, yang dalam ajaran Hindu Dharma adalah istilah untuk merepresentasikan kekuatan alam semesta (Bhhu) dan waktu (Kala) yang begitu besar dan tak terbantahkan. Karena begitu besarnya kekuatan ini, maka simbol Butha Kala seringkali merujuk pada sosok raksasa. Tinggi ogoh-ogoh ini berkisar 2-4 meter yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan dan mudah terbakar. Karena bukan ritual yang sakral, bentuk ogoh-ogoh ini sering dimodifikasi dengan dibentuk diluar Butha Kala, ogoh-ogoh kontemporer dibentuk menyerupai tokoh yang dibenci masyarakat atau karakter fiktif yang melambangkan kejahatan.
Unsur kepercayaan dan kesenian pada ogoh-ogoh sama besarnya. Lahirnya tradisi ini pun dilandasi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan kepercayaan dan agama Hindu Dharma serta adat istiadat masyarakat Bali. Kehadiran ogoh-ogoh selalu dikaitkan dengan upacara Tawur Kesanga (penyucian jiwa dan raga dari berbagai perbuatan dosa) sehingga memiliki dimensi religius. Pada saat upacara tawur dilaksanakan, pada saat Nyarub caru (menghaturkan persembahan) memerlukan suara riuh karena sifat Butha Kala senang dengan suara yang serba keras. Upacara ini ditandai dengan menyalakan api dari daun kelapa kering, menyemburkan bau-bau mesiu, jagung, bawang, serta membunyikan kentongan, gong atau gamelan. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengembalikan posisi panca Maha Bhuta (lima elemen utama penyusun alam semesta) ke dalam sistemnya masing-masing sehingga mereka tidak mengganggu lagi.
Ogoh-ogoh yang selesai dibuat akan didoakan terlebih dahulu . selanjutnya diarak keliling desa dengan iringan suara riuh, menuju Sena, yaitu tempat pembakaran jenazah atau perkuburan, atau bisa juga lahan kosong. Disana setiap ogoh-ogoh yang sudah diarak dibakar untuk menetralisir energi negatif atau Butha Kala yang ada didalamnya agar menjadi energi positif. Prosesi ini dinamai Nyomnya Kala. Apabila ogoh-ogoh tidak dibakar atau didiamkan saja, maka ogoh-ogoh tersebut bisa dirasuki oleh energi negatif lainnya. Proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dahsyat yang berupa Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia), dalam pandangan filsafat, kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulis dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Selain itu, pawai ini menjadi sarana pemersatu masyarakat. Ini merupakan manifestasi dimensi sosial masyarakat Bali yang guyub dan kekeluargaan pada banjar atau desanya. Proses pembuatan ogoh-ogoh yang rumit dan lama menuntuk kekompakan dan kerjasama warganya. Pada proses inilah gotong royong dalam masyarakat terwujud. Dan pawai ini sebagai komodisatas pariwisata yang berfungsi mendukung perekonomian masyarakat dan sebuah manifestasi budaya dan kesenian Bali.
No responses yet