Perjalanan Sejarah Kota Yogyakarta

Yogyakarta merupakan wilayah sekaligus ibu kota Daerah Istimewa Yogyakart. Kota Yogyakarta sendiri telah menjadi pemukiman sejak  masa Mataram kuno/ Masa klasik dengan temuan beberapa buah arca dan yoni. Tetapi hal in belum ditemukan latae belakng sejarahnya.

Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari perjalanan sejarah Mataram Islam yang didirikan oleh Panembaan Senapati di Wilayah Kotagede. Menurut Kristin Septiyani, tanah mataram merupakan hadiah yang diberikan olrh Raja Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan yang berhasil menumpaskan Arya Panangsang pada tahun 1549. Tetapi hadiah tersebut baru diserahkan pada tahun 1575 dikarenakan ramalandari Sunan Prapen tentang kemunculan pemimpin besar di Tanah Mataram. Pada tahun 1582 perang antara Mataram dan Pajangpecah setelah terjadi konflik antara Sutawijaya dan pemimpin pajang.  Konflik ini dipicu lantaran Tumenggung Mayang, adik ipar Sutawijaya, dibuang ke Semarang oleh Raja Hadiwijaya.  Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir mengakibatkan kota-kota pesisir pada masa itu memperkuat diri. Namun putranya, Pangeran Benowo tak mampu menangani pergerakan kota-kota tersebut dan kemudian menyerahkannya ke Sutawijaya. Maka dari itu, kerajaan Pajang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram Islam sendiri mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berkuasa dari tahun 1613 sampai 1645. Setelah masa kepemerintahan ini, kerajaan Mataram mengalami kemunduran dan akhirnya terjadi pemberontakan oleh Trunajaya yang terjadi pada masa pemerintahan Amangkura I Plered, ibukota Mataram.

Setelah Trunajaya berhasil ditangkap oleh Sunan Amangkurat II, yang saat itu memerintah kerajaan Mataram, memerintahkan Pangeran Nerangkusuma membuka Hutan Wanakerta untuk dijadikan kawasan pemukiman. Yang mana semakin lama semakin luas dan akhirnya dijadikan sebgai ibukota Mataram. Selama pusat pemeintahan berada di Kartasura, terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada 1740 , konflik VOC dengan orang China. Peristiwa in ke wilayah Mataram dan pihak Paku Buwana II yang awalnya mendukung pemberontak China akhirnya berbalik ke VOC. Akibatnya, Kraton Kertasuraberhasil direbut dan memaksa Sunan Paku Buwana II mengungsi pada tahun 1742. Setelah pemberontakan ini berhasil dipadamkan dengan bantuan VOC, kerajaan Mataram kembali pindah di Surakarta.

Selama masa pemerintahan di Surakarta, pertikaian antar keluarga yang disebabkan politik adu domba VOC terus terjadi, puncaknya pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II. Konflik ini melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Akhirnya, VOC mengadakan perundingan dengan mengundang perwakilan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi pada tanggal 22-23 September 1754 untuk membahas pembagian wilayah, gelar yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan. Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Setelah perjanjian Giyanti ditandatangani, Pangeran Mangkubumi pun mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Mangkubumi mendeklarasikan diri sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti, tepatnya tanggal 13 Februari 1755, pangeran Mangkubumi yang bergelar, “Sampejan Dalem Ingkang Sinuhun Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Ingkang Kaping Sapisan Senapati Ingagala Abdurrachman Sajidin Panatagama Kalifatullah Negara Ngajogjakarta Hadiningrat” membengun keraton Yogyakarta di wilayah Hutan Beringan dimana terdapat Umbul Pcetokan. Selama proses pembangunan itu, Sultan dan keluarganya sementara tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang. Pada tanggal 7 Oktober 1756 secara resmi Sultan Hamengkubuwono menempati Kraton Yogyakarta.

Luas seluruh wilayah benteng dan keraton yang baru in kurang lebih sekitar 4000 meter persegi dengan bentuk menyerupai belah ketupat. Sejalan dengan waktu, luas tu terus berubah. Secara kasar perkembangan luas seluruh wilayah antara tahun 1756 hingga tahun 1824 dengan rincian sebagai berikut;

  1. Pada tahun 1756 luas wilayah 9,7 kilometer persegi.
  2. Pada tahun 1790 luas wilayah 12,5 kilometer persegi.
  3. Pada tahun 1824 luas wilayah 13,5 kiolmeter persegi.

Adapun berbagai peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Kaultanan Ngayogyakarta antara lain;

  1. Berdirinya Kadipaten Pakualaman tahun 1813
  2. Pecahnya perang Diponegoro tahun 1825-1830
  3. Kongres I Boedi Oetomo pada tahun 1908 di Yogyakarta
  4. Berdirinya Muhammadyah pada tahun 1912
  5. Berdirinya Taman Siswo pada tahun 1922
  6. Kongres Wanita I se Indonesia pada tahun 1928 di Yogyakarta
  7. Pad awal kemerdekaan sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Istana atau keraton sendiri menjadi inti dari Kota Yogyakarta yang berdasarkan konsep kosmologi sebagai lambang Gunung Mahameru. Kawasan in dikelilingi oleh benteng berparit dan disebut Kawasan Jeron Banteng yang terbagi atas daerah-daerah seperti Alun-alun Utara, Teratag Pagelaran, shitinggil kemandungan, Kedaton, Magangan, Kemandungan Kidul, Shitinggil Kidul, dan Alun-alun Kidul. Benteng ini digunakan sebagai tempat tinggal kaum bangsawan dan kerabat raja serta hamba-hamba istana yang dibangun pada tahun 1778.

Benteng ini berbentuk persegi empat dengan luas keseluruhan kurang lebih lima kilometer. Benteng ini dibuat dengan dua lapisan tembok, yakni tembok luar dan tembok dalam dengan tebal masing-masing setengah meter. Ruangan antar tembok ini diisi tanah sehingga tebal keseluruhan tembok sekitar empat meter.  Tinggi tembok luar kurang lebih tiga setengah meter, sedangkan tembok bagian dalam dua meter. Di keempat sudutnya dibuat tempat pengintaian dan memiliki lima gerbang yang disebut plengkung, masing-masing nama plengkung itu adalah; plenglkung Jagasura, Plengkung Jayabaya, Plengkung Nirbaya, Plengkung Madyasura, dan Plengkung Taranasura. Kelima plengkung tersebut merupakan gambaran dari kelima nama pasaran; pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Ini disangkutkan dengan pembangunan masing-masing plengkung yang dimulai dari pasaran tersebut.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 × two =

Latest Comments