(Pesan) Grebeg Sudiroprajan

Lembaran sejarah merekam, tali persaudaraan lintas etnis di Kota Bengawan pernah dedel duel beberapa kali akibat meletusnya kerusuhan rasial (1743, 1911, 1965, 1980, dan 1998). Untuk menyikapi bibit konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak sekaligus membentengi agar sejarah kerusuhan tidak berulang, masyarakat Surakarta antara lain meluncurkan strategi kebudayaan berupa Grebeg Sudiro.

Acara yang dirayakan pada tahun baru Imlek mencuri perhatian khalayak, karena menyimbolkan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Permainan barongsai dan gunungan digarap secara gotong royong lintas etnis. Tampilan apik yang bertempat di kompleks Pasar Gedhe itu juga merupakan jembatan sejarah mengulik riwayat orang-orang Tionghoa di Solo sudah ada jauh sebelum Keraton Kasunanan berdiri walau jumlahnya belum banyak. Kenyataan tersebut penting disorongkan ke publik demi membuktikan telah terjadi pembauran etnis lewat jalan budaya selama ratusan tahun silam.

Dunia industri di Solo pengujung abad XIX mulai berkembang sebagai imbas dari kebijakan masuknya modal asing dan modernisasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Situasi ini mendorong pertumbuhan komunitas Tionghoa di Solo yang tergerak mengadu nasib dan bermukim di kota. Dalam perkembangannya, mereka bertempat tinggal di wilayah Kasunanan, yaitu Ketandan depan Pasar Gedhe, Balong, Mijen, Kepanjen, Samaan, Sudiroprajan, dan Limolasan (Benny Juwono, 1999). Komunitas ini menjalankan laku budaya leluhurnya.

Keuletan bekerja, ketekunan menggeluti bisnis, serta lincah menangkap peluang menyebabkan kondisi keuangan mereka bagus. Akan tetapi, dekade pertama abad XX muncul komunitas Tionghoa miskin di Solo. Kelompok Tionghoa yang tinggal di Balong merupakan golongan miskin. Periode itu sebagian besar wilayah Balong masih berupa tanah lapang yang kumuh. Di lapangan itu telah dihuni para buruh, baik orang Tionghoa maupun orang Jawa yang mendirikan rumah bilik. Tanah lapang yang kumuh serta dipenuhi rumpun bambu berfungsi untuk tempat pembuangan tulang dari abattoir di Jagalan. Di Balong diangkat seorang pemimpin dengan jabatan “Kapiten Tionghoa” yang bertanggung jawab kepada raja maupun Belanda.

Dari penelusuran ilmiah Riyadi (2011), terpotret keunikan Balong, yakni biarpun sebagai Pecinan tetapi orang Jawa juga diberikan izin di area itu. Realitas ini menunjukkan latar belakang pembentukan Balong untuk mengatasi hunian liar dari para buruh lepas. Tidak heran jika interaksi Tionghoa-Jawa berlangsung harmonis. Dalam interaksi yang lebih lanjut dari kedua etnis itu terwujud dalam perkawinan campur. Dalam pandangan sosial-budaya, di Balong banyak orang yang dilambangkan dengan sebutan “ampyang”. Ampyang merupakan makanan ringan terbuat dari gula Jawa dan kacang Tionghoa, atau perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa. Perkawinan campur ini menjadi salah satu perekat pembauran yang efektif (social capital), maka menjadikan orang Tionghoa mampu beridentitas sebagai orang Jawa. Yang paling istimewa, Balong luput dari aksi kekerasan dan pembakaran kota pada Mei 1998. Bagi mayoritas masyarakat etnis Tionghoa, peristiwa kelam ini membawa trauma berat. Sedangkan bagi Kota Solo serta penghuninya secara umum, memunculkan cap menyakitkan, yaitu Solo “kota konflik” dan “bersumbu pendek”.

Karena itulah, gelaran Grebeg Sudiro harus dipahami sebagai bukti tingginya kesadaran masyarakat yang getol dan bahu-membahu mendekonstruksi stigma negatif di atas. Ia juga bak panggung untuk menguatkan ikatan persaudaraan masyarakat kota yang majemuk. Dalam konteks nasional, acara kolosal ini bukanlah sekadar tontonan, namun lambang dari pembauran masyarakat yang perlu disiarkan secara nasional guna merawat Ibu Pertiwi dari ancaman konflik agama dan rasial yang akhir-akhir ini menajam.

Lewat Grebeg Sudiro, penduduk Indonesia disadarkan bahwa pondasi harmoni sosial harus diperkuat supaya kita tidak mudah termakan oleh isu disintegrasi, lebih-lebih banjir berita hoax yang mengandung nuansa SARA. Barangkali, strategi kebudayaan serupa perlu ditiru oleh kota-kota lain demi merayakan pembauran dan menguatkan persaudaraan antaretnis yang harmonis. Tidak salah event tersebut dimasukkan dalam kalender wisata nasional (Heri Priyatmoko, 2017).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirteen − one =

Latest Comments