Reduplikasi Upacara Adat Bapelas sebagai Simbol Kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara

Upacara adat Bapelas dilaksanakan di Kutai Kartanegara sebagai penghormatan terhadap leluhur. Upacara bapelas merupakan upacara ritual-sakral dalam pelaksanaan upacara besar kenegaraan “pengakuan kuasa sultan”. Upacara ini dipimpin oleh seorang yang mendapatkan kepercayaan penuh dari sultan Kutai yang disebut dengan “Belian”. Upacara ini diselenggarakan untuk memuja raga dan sukma sultan secara keseluruhan sehingga sultan mampu menyandang kekuatan dan kekuasaan dalam memangku adat Kutai Kartanegara.

Eksistensi seorang sultan atau raja dapat terlihat ketika sultan mengikuti jalannya upacara adat bapelas dari awal hingga akhir pelaksanaan upacara. Pada saat upacara, sultan berperan sebagai tokoh utama dalam alur proses pelaksanaan upacara. Kekuasaan sultan merupakan kekuasaan tertinggi di kerajaan Kutai Kartanegara. Pada zaman dahulu, masyarakat Kutai menganggap Sultan Kutai sebagai utusan dewa penguasa semesta raya. Raja atau sultan terdahulu dianggap sebagai orang keturunan dewa yang suci atau makhluk astral yang dianggap empunya kekuatan tertinggi.

Pada upacara bapelas ini mitos masih melekat kuat dan belum ada pemisahnya secara jelas subjek dan objeknya. Sehingga keyakinan dan kepercayaan masyarakat melebur menjadi satu. Konsep mengenai adanya dewa-dewa tertinggi sebagai sumber kekuasaan dan kekuatan dalam memegabf adat merupakan kebutuhan manusia akan penjelasan tentang semua gejala dalam dunia visual maupun emosional, sehingga sultan ingin membenarkan dirinya sebagai pusat mikrokosmos manusia, sebagai pengemban kekuasaan mutlak atas kerajaan duniawi.

Pelaksanaan upacara bapelas ini tidak terlepas dari upacara besar “erau” yang merupakan upacara rakyat, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Erau sendiri berarti riuh, ramai, bersuka ria. Upacara bapelas merupakan bagian integral daari peristiwa erau. Upacara adat bapelas diadakan pada malam hari selama 7 malam, sedangkan erau nya dilaksanakan pada siang dan malam hari selama 7 hari. Keduanya dilaksanakan di tempat yang berbeda, bapelas di dalam keraton Kutai Kartanegara, sedangkai Erau di luar keraton seperti: lapangan, alun-alun kota atau jalan-jalan besar.

Reduplikasi upacara adat bapelas memiliki struktur dalam proses pelaksanaannya, antara lain:

  1. Tahap persiapan, pada upacara bapelas menggunakan sesaji yang wajib dipakai yaitu: wijen, beras kuning, air beras kuning, dupa setanggi, air kembang,kain kuning, dan peludahan. Sesaji ini diletakkan pada wadah atau mangkok yang terbuat dari tembaga atau logam yang disebut Kelengkapan ini tidakboleh ada yang tertinggal satupun, karena dianggap akan mendatangkan malapetaka dan upacara tidak akan berjalan lancar. Makna simbol sesaji pada tahap persiapan ini menggambarkan bahwa tempat atau keadaan sebagai wadah berlangsungnya bapelas harus dalam kondisi suci, bersih dan terlepas dari anasir-anasir negatif. Tujuannya agar sanghiyang sebagai pemilik kekuasaan dunia atas dapat turun ke bumi untuk ikut dalam proses upacara.
  2. Tahap pelaksanaan, ruangan puri tamu untuk pelaksanaan bapelas harus bersih dan sunyi. Kemudian kepada adat keraton mengadakan sawai (proses komunikasi dengan mahluk astral). Adapun proses bapelas dilakukan dengan cara:
    1. Bungkusan kain kuning yang ada dirobek, pinang ayu Tali juwita dan kain cinde direntangkank ke arah barat dan diujungnya dipegang oleh keluarga sultan yang sudah ditunjuuk.
    2. Belian (dukun keturunan dewa) mulai membacakan mantranya (bememang) ebak ayu, memberitahu pada para keturunan paea kamumulam, sanghiyang dan orang-orang halus lainnya bahwa bapelas akan segera dimulai.
    3. Belian memasuki puri sultan (kamar)yang berada di bawah tangga belakang puri tamu, didampingi anak dan kerabat sultan yang ditunjuk dan pangkon pembawa damar jujagat dengan diiringi irama suling oleh penyuling untuk membawa Sultan pergi Bapelas ke ruang puri tamu.
    4. sultan berjalan menuju puri tamu diiringi lagu gamelan yaitu lagu serseh. Sultan berjalan menuju Tapak Leman, disebelah kiri tapak leman sudah siap pangkon membawa peludahan, penangan, mandau , toombak, keris dll.
    5. Setelah kepala adat besawai, gamelam berbunyi dengan lagu yang berjudul ireng-ireng, gong besar dibunyikan, maka sultan meniti tapak leman yang didahului dengan menginjak sebuah batu/karang sebagai pijakan.
    6. Tangan kanan sultan memegang rentangan tali juwita menunjukkan bahwa masyarakat Kutai Kartanegara itu berlapis-lapis atau bergolong-golong.
    7. Tangan kiri sultan memegang tali cinde yang berwarna kuning yang memiliki arti memelihara keluarganya, kuning berarti kesucian.
    8. Sultan berjalan menuju Gong Radel Galoh yang dilapisi kain kuning. Gong diinjak sultan bersamaan dengan bunyi meriam meledak yang memiliki arti bahwa bersatunya tiga kekuatan yaitu Raja, rakyat dan keluarga.
    9. Sultan memutar ke kanan tanpa melepas pegangan kedua tangan, hal itu menunjukkan bahwa hubungan rakyat, keluarga dan seorang raja tidak akan putus.
    10. Sultan berjalam kembali di atas tapak leman menuju kursi singgasana.
  3. Tahap penutupan, setelah sultan menginjakkan kakinya ke Gong Raden Galoh dan menyentuh tijakan maka meriam meledak sebanyak tujuh kali menandakan upacara bapelas telah selesai.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

twenty − twenty =

Latest Comments