Akulturasi Budaya Pada Arsitektur Menara Kudus di Jawa Tengah

Identitas Indonesia terbentuk oleh sejarah dan budaya beribu-ribu suku dan bahasa yang berbeda di masing-masing daerahnya. Perbedaan-perbedaan ini menjadikan indonesia menganut sistem multikultur. Akulturasi dapat diartikan sebagai proses bercampurnya dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan mempengaruhi satu sama lain atau proses masuknya dampak dari budaya asing pada suatu lingkungan masyarakat. Dalam proses tersebut sebagian menyerap budaya baru melalui seleksi atau penyaringan.

Awal kemunculan Islam di pulau Jawa, terjadi kemajuan pesat dimana peran yang dampaknya sangat terasa yaitu melalui penyebaran pola budaya hingga hidup bermasyarakat.  Sebab islam dalam penyebarannya tidak lepas dari keberhasilan proses islamisasi yang dilakukan para Wali Songo dengan tidak memaksakan Islam sebagai agama pendatang baru sehingga unsur-unsur kulturan yang selaras dengan masyarakat kala itu digunakan dengan baik. Penyebaran ajaran islam di Jawa dilakukan dengan melalui pendekatan dan media seni budaya dengan penggabungan beberapa unsur hingga menjadi Islam –Jawa (Kejawen).

Dakwah menjadi salah satu media dalam penyebaran islam dengan pendekatan sosial budaya. Pola yang digunakan adalah akulturasi budaya, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang diintegrasikan ke dalam ajaran islam. Dalam menyebarkan ajaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan pendekatan fabian yaitu adaptasi, menyerap, pragmatis dan melakukan metode kompromi bertahap dengan semangat toleransi pada nilai-nilai budaya masyarakat setempat yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu artefak yang ditinggalkan pada masa penyebaran ini adalah  bangunan Masjid Menara Kudus.

Arsitektur Masjid Menara Kudus tidak hanya sebagai arsitektur biasa yang berfungsi sebagai tempat peribadatan oleh muslim, tetapi juga arsitektur bangunan ini memperhatikan budaya Hindu dengan menyerap ornamen-ornamen khas Hindu seperti bangunan yang menjulang tinggi sebagai menara, gerbang, gapura dan ornamen lainya mewakili ekspresi akulturatif dari unsur-unsur dan nilai-nilai simbolik dari penggabungan dua budaya yang berbeda.

Dalam hal ini Hindu dan Islam menerapkan sistim akulturasi saling menghargai dan memengaruhi kultur-kultur masing-masing sehingga tercipta pembauran kultur atas dasar sukarela oleh masyarakat.  Islam memiliki misi menyebarkan dakwah dengan menghindari konflik serta berusaha tidak menyingkirkan kepercayaan lama berupa animisme dan dinamisme. Islam pun tidak mendeskriminasi penganut agama terdahulu melainkan memberikan dan mengajak saling bertoleransi dengan budaya dan tradisi-tradisi lama.

Melalui taktik itu Sunan Kudus menyebarkan agama islam dengan mengedepankan paham dan cara yang tentram serta terus berupaya dalam usahanya membaurkan tradisi dan budaya lama dengan melakukan sedikit modifikasi untuk menghasilkan budaya baru yang bernafaskan Islam yang dapat diterima dan berkenan di hati masyarakat.

Menara kudus dibangun sekitar abad 15 dsn 16 M. Komplek masjid dan menara memiliki luas kurang lebih 5000 m2. Memasuki Masjid Kudus dapat melalui dua gerbang  yang disebut Gapura Bentar. Gapura Bentar diambil dari istilah Hindu yang berarti gerbang. Menara Kudus sendiri menunjukkan masih kuatnya pengaruh kebudayaan Hindu dalam pembangunan masjid. Secara visualna menara Kudus banyak memiliki elemen-elemen Hindu yang diaplikasikan para Candi Hindu secara umum yaitu ramping menjulang tinggi ke atas. Walau berorientasi pada arsitektur hindu, kompleks bangunan ini tetap berorientasi pada Ka’bah sebagai acuan ibadah.

Menara kudus dalam hindu memiliki beberapa filosodi atau makna tertentu bagi penganut Hindu terhadap penempatan suatu letak yang ditentukan oleh Bindu atau Windu. Arah-arah tersebut ditentukan berdasarkan dewa-dewa Hindu. Pengaturan organisasi ruang ini juga terlihat dalam pengaturan organisasi ruang di Kota Kudus. Pada menara kudus terdapat tiga elemen yaitu bagian kaki, badan, dan kepala. Ketiga bagian ini memiliki filosofi; kaki disebut bhurloka memiliki makna manusia yang masih terikat oleh hawa nafsu, bagian badan disubut bhurvaloka yang bermakna manusia berusaha mensucikan diri namum masih memiliki rupa, dan terakhir bagian kepala disebut syarloka merupakan pemaknaan dari tingkatan tertinggi perjalanan hifup dari umat manusia atau juga dapat digambarkan sebagai tempat Dewa.

Bangunan Menara Kudus ini memiliki beberapa peran, diantaranya sebagai media bahwa asanya kesadaran budaya dalam akulturasi tidak serta merta mematikan budaya lama. Menjunjung tinggi budaya lama sebagai identitas, tidak melakukan diskriminasi sosial, menjunjung harkat dan martabat umat beragama, dan manusia sejatinya adalah mahkluk sosial mereka tidak akan mampu hidup dengan kaum sama melainkan membutuhkan kaum yang berbeda untuk saling melengkapi kebutuhan sosialnya.

Bangunan Menara Kudus dapat diartikan sebagai simbol sikap toleransi antarbudaya pada arsitektur bangunan Masjid Menara Kudus ditandai dengan hadirnya bangunan menara, gapura pintu masuk, dan bangunan gapura Padukaraksa (Lawang Kembar) di dalam serambi masjid yang bergaya Candi Hindu. Tanda pemanfaatan unsur budaya Arab (islam) terlihat pada bentuk atap kubah dan dua menara kecil yang mengapitnya, beserta ornamen tulisan kaligrafi Arab. Unsur budaya jawa, terlihat pada atap bangunan menara dan atap bangunan ruang utama Masjid yang berbentuk atap tumpang bersusun. Sedangkan unsur budha tersimbol dalam jumlah delapan pancuran tempat wudhu yang diatasnya diletakkan arca.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

eleven − 10 =

Latest Comments