Bubur Samin, makanan yang hanya muncul pada bulan puasa di Masjid Darussalam ini laksana besi sembrani. Di bibir jalan, ratusan warga menyemut, menenteng rengkot demi memperoleh bubur alias jenang samin di muka masjid tua yang dibangun tahun 1907 itu. Fenomena unik dibawa-iring oleh kaum pedagang-penggosok intan permata dari Banjar (Kalimantan) itu telah mengakar sedari lama.
Satu dekade terakhir, seribu porsi bubur Samin dibagikan secara gratis kepada publik. Bubur tersebut terbuat dari bahan beras, daging sapi, susu, rempah-rempah, santan, dan dicampur minyak samin. Rasa bubur samin ini sendiri gurih. Pukul 11.00 WIB, suasana puasa di belakang Masjid Darussalam, sudah terasa hiruk pikuknya. Beberapa pengurus memulai memasak dan berpeluh. Tiap harinya dibutuhkan 45 kilogram beras untuk menyajikan seribu porsi bubur samin.
Saking banyaknya porsi, pembuatan bubur samin dikerjakan puluhan pengurus masjid. Terutama mengaduk adonan beras jadi bubur, maka mengaduknya bergantian. Jelang sore, kahanan mulai ramai. Masyarakat berdatangan dengan membawa rantang. Beberapa di antara mereka sengaja datang lebih awal, untuk salat asar di Masjid Darussalam. Bubur samin siap dibagikan pukul 16.00 WIB. Takmir masjid menembangkan doa, dan pengurus lalu membagikan bubur Samin. Sembari membawa rengkot, masyarakat berkerumun hendak melahap bubur. Rasa guyub dan rasa persaudaraan di bulan penuh berkah ini tergambar dari fenomena bubur itu.
Bukan sekadar makanan gurih, bubur Samin ibarat kereta waktu yang mengantarkan kita memahami sejarah komunitas orang Banjar di Kota Bengawan. Dari penelusuran Hasan Basri (1985) diketahui, Serat Babad Nitik Kraton Jaman Sugengipun Ingkang Sinuhun Susuhunan Pakubuwono X yang disusun pujangga Istana Kasunanan hanya menyinggung relasi antara Kasunanan Surakarta dengan kesultanan di Kalimantan. Tali hubungan ini dieratkan bukan cuma bidang seni-budaya, tapi juga aspek lainnya.
Jika ditelisik dari skill orang Banjar dan toponimi Carikan di Kelurahan Jayengan, diyakini bahwa raja mengundang orang Banjar dari Martapura untuk mengurusi perlengkapan busana raja dan pakaian prajurit. Raja selalu ingin tampil kinclong dan pamer di muka para kawula dan elit kolonial. Maka, asesoris dan rajabrana yang dikenakannya perlu dipoles.
Perkawanan antara Paku Buwono X dengan orang Banjar dituturkan Hasim. H. Syukur Marlim, penggosok dan pedagang intan dari Banjar terkaya era 1900-an. Lelaki ini kerab diminta raja menggosok intan berlian. Sewaktu Syukur Marlim menggelar hajat menikahkan anak pertamanya, raja turut nongol meski tidak masuk rumah. Dalam kesempatan berbeda, tatkala raja merayakan hari ulang tahun, saudagar Banjar ini memberi kado berupa slop bertahta berlian. Raja memakai slop itu setiap pergi sembahyang ke masjid. Pemberian semacam ini dalam konsep Jawa disebut konjuk dalem, yang bermaksud untuk menyenangkan hati sang junjungan dan tanda bakti dari bawahan, bukan mencari muka. Dari sepenggal informasi ini, menyiratkan gelombang pertama kedatangan orang Banjar di Solo di pengujung abad XIX hingga permulaan abad XX.
Tundjung W Sutirto (2003) mengendus kehadiran orang Banjar bertemali dengan sejarah berdirinya Masjid Darussalam. Awalnya masjid ini diprakarsai H. Moh. Arsyad bin H. Abdurrahman Marlim bersama H. Moh. Yusuf, Moh. Takim, Ali, dan Abu Bakar dan H. Matali tahun 1907.
Bayi Mansyur dilahirkan di Martapura tahun 1907. Sebubar merampungkan sekolah dasar, tahun 1919 ayah-ibunya mengajak dia merantau ke Solo bersama beserta kakak dan adik. Namun mereka hanya satu tahun di Solo, lalu kembali ke Martapura tahun 1921. Setahun kemudian, ia belajar agama hingga ke Mekah sampai tahun 1924. Sepulangnya dari Mekah, pemuda Mansyur belajar di Pondok Pesantren Darussalam di Martapura hingga 1925. Sebenarnya, ayahnya menginginkan ia terus belajar di Darussalam dan menjadi kyai. Tapi, Mansyur kepingin berniaga. Lantas kembalilah dia ke Solo membawa intan berlian untuk diperdagangkan. Dia bertempat di Jayengan.
Meski angkat kaki dari kampung halaman, budaya kuliner tetap didekap oleh para perantau, tanpa kecuali komunitas Banjar. Bubur Samin “baru” nongol pada dekade pertama abad XX. Dalam “ritual” bubur samin ini sejatinya membawa pesan berharga bahwa umat Islam dan non-muslim diingatkan untuk menenun tali persaudaraan lintas batas. Potret kerukunan dan harmoni sosial yang terpantul kudu dikabarkan ke dunia internasional.
Kemudian dari segi budaya, momentum ini mengajak warga Indonesia memuliakan harga diri kuliner bubur. Kita membahu melestarikan bubur sebagai warisan leluhur, identitas daerah, dan kebanggaan. Inilah sederet makna di balik pesona yang terpancar dalam sejarah dum-duman bubur samin di Kampung Jayengan, Solo (Heri Priyatmoko, 2018).
No responses yet