Sekaten merupakan suatu perayaan yang tak dapat dipisahkan dari keluhuran tradisi-tradisi yang hidup dan berkembang dalam kerajaan-kerajaan bercorak Islam di tanah Jawa. Dalam tradisi Kasultanan Yogyakarta, gamelan yang secara khusus dibunyikan beberapa hari sebelum puncak perayaan Grebeg Mulud disebut sebagai Gamelan Sekaten. Sebagai salah satu penerus dari Dinasti Mataram Islam, Kadipaten Pakualaman tentu saja turut merayakan hari-hari besar keagamaan Islam. Selain Grebeg Mulud yang telah disebutkan sebelumnya, ada pula Grebeg Syawal yang dilakukan saat hari raya Idul Fitri dan Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Seperti di kraton, gamelan pun ikut ditabuh dalam perayaan grebeg yang dilangsungkan di Pura Pakualaman. Hanya saja, gamelan yang digunakan oleh Pura Pakualaman disebut sebagai Gamelan Sekaten Alit. Hal ini merupakan konsekuensi etis dari perbedaan status antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Karena seorang Adipati derajatnya berada di bawah seorang Sultan, maka atribut-atribut yang diasosiasikan dengannya pun harus lebih kecil tingkatannya. Dari sinilah istilah alit yang berarti kecil ditambahkan ke dalam nomenklatur sekaten hingga menjadi sekaten alit. Konsekuensinya, gamelan yang ditabuh dalam perayaan sekaten di Kadipaten Pakualaman disebut sebagai Gamelan Sekaten Alit dan gendhing-gendhing yang dibawakan pun disebut sebagai gendhing Sekaten Alit. Tentu saja, perbedaan derajat dan nama ini kemudian menurunkan perbedaan-perbedaan dalam banyak hal lainnya yang melahirkan kekhususan-kekhususan dalam penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit Pakualaman.
Dalam kajian yang dilakukan juga dijelaskan mengenai gendhing Sekaten Alit Pakualaman, seperti konteks penamaannya, gamelan yang digunakan, pola tabuhan, beberapa sistem notasi, penyajiannya dalam upacara agama Islam beserta kandungan nilai keislaman yang melekat padanya, diikuti beberapa fungsi selain sebagai media dakwah dan juga masalah-masalah yang menyertainya. Begitu banyak aspek tersebut tentu saja belum dapat menjawab seluruh pertanyaan mengenai gendhing Sekaten Alit Pakualaman, akan tetapi sekiranya telah cukup untuk menyimpulkan eksistensinya sebagai suatu objek warisan budaya tak benda yang memiliki peran penting dalam membangun dan mengokohkan identitas kultural masyarakat di Pura Pakualaman secara khusus dan Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan, juga memperkaya kasanah pengetahuan masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya tak ternilai yang patut diperhatikan, dipelajari, dan dilestarikan demi generasi-generasi berikutnya.
Dalam penjabaran mengenai Gamelan Sekaten Alit Pakualaman berikut, ada empat aspek yang akan diulas. Pertama-tama akan disajikan perbedaan penamaan perangkat Gamelan Sekaten Alit dalam berbagai versi, diikuti dengan perbedaan pandangan mengenai asal-usul atau sejarahnya. Selanjutnya, perubahan tempat penyajian Gamelan Sekaten Alit juga akan diterangkan sesuai dengan keterangan dari berbagai sumber. Terakhir, perubahan dan penyesuaian ricikan atau instrumen dari perangkat Gamelan Sekaten Alit akan dijelaskan beserta alasan-alasan yang mendasarinya.
Baca Juga : Pembangunan Pariwisata Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2016
Menurut KRMT Projokusumo yang kerap disapa sebagai Pak Murhadi, penamaan sepasang Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman sejak dulu sudah sepasang, yakni laki-laki dan perempuan. Ada dua alasan yang mendasari penamaan seperti ini, yakni dari segi arti nama tiap perangkat gamelan dan dari elemen rasa yang hadir secara spiritual pada penabuhnya.
Pertama, penamaan Kyai Kombangtawang dengan sifat maskulin dan Nyai Madusedana dengan sifat feminin dikatakan berasal dari kata kombang dan madu. Kombang yang berarti kumbang adalah sosok makhluk maskulin yang menghampiri dan menghisap sari madu yang feminin. Penjelasan ini tampak mudah untuk diterima dalam logika, namun ada pertanyaan lain yang patut dikemukakan. Apabila istilah madu dikatakan bersifat feminin, tentu hal ini tidak konsekuen dengan penamaan salah satu Gamelan Sekaten di Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta yang sama-sama disebut Kyai Gunturmadu. Meski memiliki elemen kata madu, kedua perangkat tersebut tetap disebut sebagai Kyai, yang artinya maskulin. Mungkin saja kata guntur yang juga menyertai penamaan itu dapat disifatkan sebagai maskulin, tetapi kombinasi dua elemen maskulin dan feminin sekaligus dalam penamaan satu perangkat gamelan justru makin mengundang pertanyaan dalam usaha menjelaskan penamaan ini. Masih banyak lagi penamaan gamelan yang menggunakan kata madu namun tetap disebut sebagai Kyai, seperti Kyai Sirat Madu, Kyai Madu Kentir, Kyai Madukusuma, dan Kyai Madumurti yang ada di Kraton Yogyakarta (lihat Surjodiningrat, 1996, hal. x). Perlu penjelasan lain untuk mendukung pemahaman di balik penamaan perangkat Gamelan Sekaten Alit.
Alasan selanjutnya yang diterangkan oleh Pak Murhadi menyinggung persoalan spiritual yang memanfaatkan istilah rasa dan lakon. Menurutnya, untuk benar-benar mengetahui sifat maskulin atau feminin dari suatu perangkat gamelan, sama seperti benda-benda pusaka lainnya yang ada dalam kekayaan tradisi Pura Pakualaman, seseorang harus melakoni secara langsung terlebih dahulu. Artinya, hanya mereka yang sudah menabuh dan mendengarkan Gamelan Sekaten Alit yang dapat merasakan sifat maskulin atau feminin yang melekat padanya. Hal ini, lanjut Pak Murhadi, disebabkan oleh kepercayaan bahwa ada keberadaan tak kasat mata yang menunggui benda-benda pusaka seperti gamelan tersebut. Dalam ajaran agama Islam, keberadaan tersebut adalah makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang tak dapat dilihat oleh mata manusia. Hanya melalui mata hati dengan laku spiritual barulah manusia dapat melihat sosok penunggu tersebut. Tentu saja pemahaman semacam ini membuat penjelasan tentang penamaan Gamelan Sekaten Alit semakin longgar dan sulit dibuktikan, namun hal ini setidaknya menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa pada umumnya dan para penabuh Gamelan Sekaten Alit pada khususnya mencoba memberi makna pada kekayaan tradisi yang diwariskan dan dipeliharanya.
Sebagai bahan pertimbangan lainnya dan mungkin juga menjadi tambahan penegasan terhadap penamaan kedua perangkat Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman, Walujo (1990. Hal. 60-61) menerangkan bahwa dalam tradisi kerajaan-kerajaan Jawa, setiap ada kelahiran putra raja dari permaisuri akan dibunyikan gamelan sebagai bentuk penghormatan. Apabila anak yang lahir adalah laki-laki, yang ditabuh adalah Gamelan Monggang, sementara anak perempuan akan dihormati dengan Gamelan Kodhokngorek. Meski Pura Pakualaman tidak memiliki perangkat gamelan khusus monggang dan kodhokngorek seperti di kraton, Abujana (1994, hal. 58-60) telah menyebutkan bahwa Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman digunakan juga untuk menabuh gendhing Monggang dan gendhing Kodhokngorek. Gendhing Monggang yang berlaras pelog pathet lima ditabuh menggunakan gamelan Kyai Kombangtawang, sementara gendhing Kodhokngorek yang berlaras slendro pathet sanga ditabuh menggunakan gamelan Kyai Madusedana. Meski Abujana menggunakan istilah Kyai untuk menyebut kedua perangkat gamelan, tetapi dari penjelasan sebelumnya mengenai tradisi menabuh gamelan saat kelahiran anak raja dapat ditangkap bahwa ada sifat maskulin yang melekat pada monggang yang berlaras pelog dan sifat feminin yang melekat pada kodhokngorek yang berlaras slendro. Masuk akal apabila gamelan yang berlaras pelog disebut sebagai Kyai dan yang berlaras Slendro disebut sebagai Nyai.
Sebagai tradisi yang berkembang dalam sebuah kerajaan Islam, bukan hal yang begitu mengagetkan apabila gendhing Sekaten Alit di Pura Pakualaman digunakan sebagai alat untuk menyebarkan ajaran keagamaan Islam. Penggunaan gendhing dan kesenian lainnya dalam rangka penyebaran agama telah dilakukan sejak zaman Sunan Kalijaga, lalu diwariskan melalui kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, dan kemudian Kerajaan Mataram dan pecahan-pecahannya. Selain itu, fungsi utama gendhing sekaten alit ini sebagai bentuk penyajian dalam ketiga Grebeg, gendhing dengan unsur keislaman, serta sebagai jejak akulturasi pra-islam.
Meski fungsi utama dari penyajian gendhing Sekaten Alit seperti yang telah dijelaskan di atas menitikberatkan pada tujuan syiar agama Islam, tetapi ada juga fungsi lain yang melekat pada penggunaan Gamelan Sekaten Alit yang kemudian membuka ruang pada pemaknaan-pemaknaan lain dalam penyajiannya. Gendhing Sekaten Alit memiliki fungsi sosial, ekonomi, dan budaya, bahkan politik. Keberadaan gunungan atau pareden serta sesaji yang menyertai perayaan Sekaten, telah dijelaskan bahwa benda-benda tersebut merupakan bentuk sedekah dari raja yang berkuasa terhadap seluruh rakyatnya. Di sini, tampak bahwa upacara Sekaten beserta hal-hal yang disajikan di dalamnya merupakan wujud kepedulian istana terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Fungsi budaya gendhing Sekaten Alit dapat dilihat dari perannya untuk memastikan bahwa tradisi upacara grebeg berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah diwariskan secara kultural dari masa ke masa. Mekanisme itu tidak lain adalah proses berkumpulnya masyarakat di sekitar istana yang kemudian bergabung dalam prosesi perarakan gunungan hingga saatnya tiba untuk memperebutkan isi gunungan bersama-sama. Budaya masyarakat untuk datang, menunggu, mengarak, hingga memperebutkan gunungan tersebut hadir bersama dengan bunyi gendhing Sekaten Alit.
Gamelan Sekaten Alit di Pura Pakualaman juga berfungsi sebagai gamelan pakurmatan. Yang dimaksud sebagai gamelan pakurmatan adalah perangkat-perangkat gamelan yang hanya digunakan dalam upacara-upacara tertentu dan memiliki instrumen yang lebih sederhana dibandingkan perangkat gamelan pada umumnya. Walujo menerangkan bahwa pada awalnya gamelan pakurmatan dan gamelan sekaten hanya boleh dimiliki oleh Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta.
Penyajian gendhing-gendhing Sekaten Alit dalam upacara grebeg memiliki tujuan untuk menyebarkan ajaran agama Islam, sehingga pemaknaan gendhing yang disajikan pun disesuaikan dengan tujuan untuk berdakwah. Akan tetapi, karena gendhing-gendhing Sekaten Alit berbentuk soran, yakni instrumental, dan tidak memiliki syair yang dinyanyikan, maka pemaknaannya pun cenderung luwes dan tidak bisa dipaksakan. Dalam wawancara, Pak Murhadi mengatakan bahwa makna gendhing itu hanya bisa didapatkan melalui rasa dan melalui mata hati. Judul tiap gendhing pun tidak bisa diartikan secara harafiah begitu saja. Sebagai contoh, salah satu gendhing yang sering disajikan sebagai gendhing Sekaten Alit adalah gendhing Gajahendra. Gendhing yang diciptakan oleh Sultan HB I ini telah berusia ratusan tahun dan telah dikenal dan digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat Jawa, termasuk di Pura Pakualaman. Akan tetapi, menurut keterangan dari GBPH Yudhaningrat, Penghageng Karwabudaya Kraton Yogyakarta, gendhing Gajahendra memiliki makna keberanian melawan penjajahan. Hal ini sesuai dengan semangat juang HB I yang berani menentang penjajah Belanda di bumi Mataram, sehingga gendhing ini disajikan dalam peringatan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (lihat Ansyari, 2015). Akan tetapi, di Pura Pakualaman gendhing Gajahendra sejak dulu disajikan sebagai salah satu gendhing Sekaten Alit (lihat Abujana, 1994, hal. 35). Artinya, di Pura Pakualaman gendhing ini memiliki cara pemaknaan yang berbeda dengan Kraton Yogyakarta. Hal ini dijelaskan oleh Pak Murhadi sebagai hal yang lumrah, karena menurutnya masing-masing kraton memiliki ciri khasnya tersendiri. Karena Kraton Yogyakarta berdiri dari perjuangan melawan penjajah, maka produk-produk budaya yang dihasilkannya pun bercirikan heroisme dan dimaknai secara heroik pula. Bukan hanya satu gendhing saja seperti gendhing Gajahendra, tetapi banyak sajian tari dan karawitan di Kraton Yogyakarta yang sifatnya heroik dan keras. Sementara itu, tiga praja lainnya memiliki gaya yang berbeda-beda pula dan tidak perlu disamakan. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan Pakualaman mendapatkan banyak pengaruh dari Kraton Yogyakarta. Bagaimanapun, PA I adalah putra dari HB I. Itulah sebabnya gendhing-gendhing yang sama dimainkan pula di Pura Pakualaman, meski dapat dimaknai dengan cara pandang yang berbeda.
No responses yet