Wong kalang di kotagede pada masa sekarang keberadaannya sudah tidak begitu terlihat. Masyarakat sudah membaur pada umumnya, meskipun dibeberapa wilayah mereka masih memegang teguh adat tradisinya. Budaya wong kalang meskipun hidup membaur dengan etnis jawa, memiliki warna kulit sama, namun mereka memiliki perbedaan dari sisi kebudayaan secara umum. Empat hal pokok yang membedakannya secara signifikan yaitu nama kalang itu digunakan oleh kalangan mereka sendiri. Artinya, nama kalang dan kelompoknya, dan bukan sematar kontruksi ke-liyan-an dari wong jawa. System perkawinan lebih bersifat endogamy, yaitu mereka cenderung tidak akan menikah dengan orang diluar kelompoknya jika masih ingin dianggap kalang sejati. Banyak perkawinan mereka terjadi antara para keponakan bahkan pada garis pertama, atau malah juga diceritakan mereka biasa saling bertukar partner pernikahan di antara kelompok Kalang lain yang hidup dalam satu pemukiman atau kampung.
Profesi kebanyakan mereka adalah pedagang atau kelompok tukang dan bukan petani seperti umumnya masyarakat jawa. Namun demikian, mereka sanggup mendudukan diri sebagai budaya superior karena keberhasilan capaian kekayaan mereka. Budaya kalang relatif lebih mempertahankan ritus-ritus pra-islam ketimbang budaya jawa. Agama mereka mayoritas islam. Wong kalang yang meninggal jasadnya tetap dikubur seperti lazimnya orang jawa pasca masuknya islam, namun mereka memiliki ritual pemakaman obong kalang, yaitu membakar boneka kayu (disebut “puspa gambar”) yang didandani dengan baju orang meninggal tersebut. Sementara, jadwal ritual obong kalang mengikuti system kalender masyarakat hindu bali.
Keberadaan wong kalang di kotagede bisa dirunut dari cerita bisa dirunut dari cerita tutur yang berkembang dimasyarakat. Kisah keberadaan wong kalang dikotagede bermula pada saat sultan agung hanyokrokusumo (1593-1645) Raja Kasultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613 – 1645 membangun kraton pleret dan kerto. Sultan Agung mendatangkan joko sasono, seorang ahli ukir yang terkenal dari bali. Joko sasono ini menjalin hubungan dengan puteri ambar lurung, saudara perempuan dari sultan agung. Versi lain mengatakan bahwa ahli ukir tersebut bernama joko sona dana mbar lurung adalah selir atau puteri sultan agung.
Pada awalnya sultan agung sangat kecewa dengan hubungan tersebut, namun karena cinta kedunya tidak dapat dipisahkan, terpaksa sultan agung merestui pernikahan antara joko sasono dengan putri ambar lurung, dengan syarat bahwa keduanya tidak diperkenankan lagi bertempat tinggal di lingkungan kraton. Mereka berdua diharuskan pulang ketempat kelahiram ibu putri ambar lurung dibanyumas, dan tak boleh keluar dari daerah itu, yang dalam bahasa jawa disebut dikalang. Anak cucu keturunan joko sasono dengan putri ambar lurung inilah yang dianggap menurunkan kelompok wong kalang di kotagede.
Menurut catatan, gelombang kedatangan wong kalang di Kotagede terjadi dalam dua gelombang yaitu pada abad XVII sebutan Wong Kalang muncul, yaitu ketika Sultan Agung membuat Wong Kalang menetap di Kotagede dan Jawa Tengah pada tahun 1636. Wong Kalang dipekerjakan untuk membangun Kraton, selain itu juga dijadikan pasukan infantri dalam penyerbuan Sultan Agung ke Batavia. Kedua pada abad XVIII yang pada waktu itu wilayah Kotagede telah dibagi dua, yaitu wilayah Kasultanan Yogyakarta dan wilayah Kasunanan Surakarta, kecuali pasar, masjid dan pasareyan agung. Dorongan kedatangan Wong Kalang di Kotagede secara garis besar ada dua alasan, yaitu sifat suka mengembara secara turun-temurun dan bakat alamiah mereka dalam bidang perdagangan dan jasa pelayanan umum, serta kewirausahaan dalam berbagai bidang.
Generasi berikutnya yaitu Mertosetiko, yang aktif terlibat dalam perang Diponegoro, sehingga kedudukan Mertosetiko menjadi terpandang. Salah satu anaknya yang bernama Brajosemito diangkat oleh Kraton Yogyakarta sebagai Demang pada sekitar tahun 1850. Anak perempuan Demang Brojosemito yang lahir tahun 1857 akhirnya masuk Islam dan berganti nama menjadi Fatimah. Fatimah kemudian menikah dengan sepupunya yang tidak masuk Islam yaitu Mulyosuwarno pada tahun 1872. Pasangan ini akhirnya berhasil menjadi orang kaya raya dan terpandang di kalangan masyarakat Kotagede. Anak mereka yang bernama Prawirosuwarno kelahiran 1873 ketika remaja begitu leluasa masuk dan keluar Kraton Yogyakarta, termasuk bermain-main adu gemak dengan pangeran yang nantinya kelak menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
No responses yet