Nyawen adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bingkeng untuk menyambut bulan Muharram, yang mana bulan ini dianggap suci dan sakral oleh orang islam, sehingga dianggap sebagai bulan yang baik untuk melakukan evaluasi diri dan mengutarakan rasa syukur kepada Allah SWT. . Nyawen sudah ada sejak zaman dahulu dan dilaksanakan secara turun-temurun. Ini diperkirakan berasl dari zaman wali songo sekitar abad 16-an. Tetapi jika dilihat dari perlengkapan yang digunakan dan proses ritual pelaksanaannya berasal dari zaman Hindu-Budha. Tradisi ini merupakan adat kebiasaan memasang sawen sebagai pelindung dan penanda kepemilikan, dan juga simbol penolak bala dan penanda akan suatu tempat atau wilayah guna menunjukkan kepemilikan.
Tradisi nyawen dilakukan bertujuan untuk menjaga keselamatan atau tolak bala bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebelum melakukannya, harus menyiapkan segala perlengkapan untuk membuat sawen itu sendiri, yang merupakan penanda atau ciri yang dipercaya dapat menangkal marabahaya. Bentuk sawen berupa gulungan berisi tumbuhan tertentu. Sebelum melakukan ritual, biasanya sesepuh adat menentukan kapan akan dilaksanakannya acara tersebut dengan memperhatikan hari jatuhnya 1 Muharram karena ada hari tertentu yang kurang baik (naas) untuk melaksanakan nyawen harus dilakukan sebelum hari tersebut.
Dalam pembuatan sawen tumbuhan yang digunakan yaitu, daun darangdan, sulangkar, kritetel, haur kuning, hanjuang, pungpulutan, sadagori, jukut rane, palias, dan daun kawang serta ijuk. Adapun urutan dalam penyusunan sawen dilakukan dengan meletakkan daun yang ukurannya lebih lebar terlebih dahulu, fungsinya agar dapat membungkus elemen penyusun sawen lainnya yang ukurannya lebih kecil. Lalu seluruh elemen sawen disatukan dengan cara diikat menggunakan ijuk. Selain itu, ada juga perlengkapan sesajen, yang digunakan setelah sawen selesai didoakan.
Rangkaian pelaksanaan nyawen dimulai setelah solat dhuhur – selesai. Setelah sawen dibuat, masyarakat akan membawanya ke tempat yang sudah disepakati untuk dikumpulkan seperti balai dusun atau masjid oleh sesepuh. Setelah terkumpul, sesepuh akan memulai ritual pembacaan mantra dan doa-doa dengan membakar kemenyan terlebih dulu. Setelah selesai didoakan, sawen akan dibagikan kembali ke orang-orang yang membuatnya. Lalu disimpan atau dipasangkan di atas pintu rumah dan kandang binatang peliharaan. Setiap selesai nyawen, masyarakat menyiapkan sesajen, yang diartikan sebagai sajian untuk hal-hal yang sifatnya gaib agar dapat membantu menyampaikan niat kita pada Sang Pencipta.
Menjelang maghrib, masyarakat akan mengadakan syukuran (hamin) sebagai bentuk ungkapan syukur dab harapan dalam menyambut tahun baru setelah sebelumnya membuat sawen. Syukuran ini diisi doa bersama yang dihadiri masyarakat, sesepuh adat dan tokoh masyarakat, lalu diakhiri dengan saling bertukar makanan yang dibawa untuk dinikmati bersama.
No responses yet