Tari bedhaya merupakan salah satu seni dan pusaka kraton yang tercipta sejak awal mula berdirinya kerajaan Mataram Islam, Lebih tepatnya pada masa Kasunanan Panembahan Senopati. Tari Bedhaya memiliki nilai kesakralan yang tinggi bagi trah keturunan Mataram. Tari Bedhaya yang pertama kali tercipta adalah Tari Bedhaya Ketawang, yang diperkirakan muncul bersamaan dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam. Bedhaya Ketawang hingga saat ini masih disakralkan oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Kesakralan ini terlihat pada penampilan tarian ini yang hanya dilakukn ketika prosesi jumenengan raja-raja Kraton Kasunanan. Konon, setiap kali Tari Bedhaya Ketawang ditarikan, Nyai Roro Kidul selalu hadir dan iku t menari. Kedatangan Nyai Roro Kidul ini bersifat ghaib, dan hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melihatnya.
Pada perkembangannya, Tari Bedhaya ini dikembangkan menjadi beberapa jenis tari Bedhaya Baru, salah satunya adalah tari Bedhaya Kirana Ratih. Tari ini merupakan salah satu kreasi Tari Bedhaya termuda yang diciptakan oleh Sulistyo Tirtokusumo dan Gusti Koes Murtiyah Wandansari pada tahun 1981 dari Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tari ini merupakan tarian favorit Ibu Tien Soeharto dan Istana Negara untuk menyambut tamu-tamu kenegaraan pada masa orde baru.
Tarian ini awalnya diciptakan untuk dipentaskan pada kegiatan amal Yayasan Jantung Indonesia di Jakarta. Arti nama Kirana Ratih adalah cahaya bulan, yang mewakili cerita dari tarian ini yang mengggambarkan para prajurit putri kraton yang berlatih memanah di bawah sinar rembulan. Awalnya nama tarian ini adalah Bedhaya Rengga Puspita, karena adanya penyesuaian nama dan kesepakatan di antara para kreator, akhirnya diiubah menjadi Bedhaya Kirana Ratih. Seiring berjalannya waktu, kedua kreator tari ini memilih jalan masing-masing untuk mengembangkan tarian ini, GKR Koes Moertiyah mengembangkan tarian ini di wilayah Kraton Kasunanan, sedangkan Sulistyo Tirtokusumo mengembangkan tarian ini di wilayah Jakarta, keduanya memiliki ciri khas dan gaya masing-masing sesuai tempat pengembangannya. Untuk tari di Kraton lebih eksklusif dengan adanya serangkaian ritual sebelum pertunjukan dan hanya dipentaskan dilingkungan kerabat kerajaan, sementara di Jakarta lebih inklusif dan terbuka bagi masyarakat umum.
Untuk pertunjukan di Kraton, pada umumnya mempunyai fungsi sakral, yang mana ada ritual khusus sebelum pertunjukan dimulai. Adapun ritual yang harus dilakukan adalah kesembilan penari harus dalam keadaan suci (masih perawan) dan kesembilan penari juga tidak sedang menstruasi. Namun sekarang ada kelonggaran untuk penari yang sedang menstruasi, karena ketidakmungkinan untuk mengganti penari yang sedang menstruasi. Kesembilan penari tersebut akan bergiliran melakukan kegiatan caos dhahar, yakni memberikan makanan. Yang mana merupakan bentuk ucapan syukur dan permohonan doa restu agar penampilan berjalan lancar. Adapun makna lain ritual ini adlaah penyatuan para penari dengan alam makrokosmos (ghoib), agar tarian tersebut hikmat dan penuh makna. Kegiatan caos dhahar ini dilakukan denganmembakar arang yang dicampur dengan bubuk ratus, kemudian menyatukan kedua tangan di depan wajah layaknya orang yang sedang menyembah keempat arah mata angin. Prosesi ini diawali dengan menghadap ke arah selatan, dan menyebut Kanjeng Ratu Ayu Kencana Sari dambil mengucapkan doa-doa dalam hati. Selanjutnya, menghadap ke arah barat dan menyebutkan nama Sunan Merapi, disusul menghadap arah timur dengan menyebut nama Sunan Lawu, terakhir menghadap utara dan menyebut nama Bethari Kalayuwarti ingkang wonten Krendhawahana. Satu persatu penari melakukan ini menggunakan kostum trari dan make up yang lengkap sesaat sebelum pentas dimulai. Tetapi ritual ini tidak wajib, biasanya hanya dilakukan jika pertunjukan ada di dalam kraton saja.
Makna simbolik dari tarian ini dapat dilihat dari jumlah penarinya, jumlah sembilan penari ini memiliki makna bahwa manusia harus menutup sembilan lubang yang ada dalam badan manusia agar kembali suci. Kesembilan lubang ini disimbolkan mealalui penari. Adapun nama posisi masing-masing penari tersebut adalah:
- Batak memiliki makna kepala yang merupakan perwujudan dari jiwa.
- Endhel-ajeg merupakan wujud simbol dari hawa nafsu.
- Gulu merupakan wujud simbol dari leher.
- Dhaha merupakan simbol dari dada.
- Apit-Mburi merupakan wujud simbol dari lengan bagian kanan.
- Apit-Ngarep merupakan perwujudan dari lengan kiri.
- Endhel- Weton merupakan wujud simbol dari bagian tungkai kanan
- Apit-Meneng merupakan wujud simbol dari bagian tungkai kiri.
- Bucit merupakan wujud simbol alat vital.
Selain itu, pemaknaan pada gerakan tarian ini salah satunya pada bagian gerakan laras panahan, yaitu gerakan memanah, dimana gerakan tersebut memiliki makna yang sebenarnya yaitu penggambaran seorang prajurit wanita yang sedang berlatih memanah. Makna lebih dalamnya, penggambaran seorang wanita Jawa yang kuat, tegas, dan mandiri. Dan gerakan dalam tarian ini lebih sigrak (bertenaga) dari tarian lainnya yang menunjukka bahwa wanita memiliki keberanian dan ketangkasan layaknya seorang pria. Tetapi juga ditunjukkan sifat asli perempuan, yaitu feminim yang didapat pada saat gerakan latihan memanah, pola langkah yang dihasilkan ini lemahlembut sekalipun dalam keadaan berperang. Di sisi lain, tarian ini merupakan simbol wanita Jawa yang memiliki sifat halus, lembut dan lemah gemulai.
Sayangnya kini tarian ini perlahan memudar seiring berkembangnya waktu bersamaan dengan tarian klasik lainnya akibat globalisasi dan masuknya budaya-budaya asing seperti Kpop, Hllywood, Bollywood, dan Jepang.