Di kota yang sohor dengan hik atau angkringannya ini, ratusan warung kopi perlahan merasuk. Bukan bermaksud menandingi, melainkan ia justru melengkapi jagad minuman dan merengkuh konsumen generasi anyar. Bagi wong Solo yang gemar nglaras serta nongkrong, wedang kopi, “artefak” lawas, dan obrolan ringan adalah bagian irama hidup yang harus lestari dijaga. Sekalipun Kota Bengawan dikenal jawara meracik teh (menyumbang istilah jayengan), namun unsur kopi sukar disepelekan dalam arus sejarah lokal. Terlebih lagi, Surakarta di masa lampau merupakan daerah penting pemasok kopi di pasaran dunia.
Di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran, ditemukan catatan sezaman perihal kopi yang dibudidayakan penguasa pribumi berabad silam. Komoditas kedua setelah gula ini ditandur di beberapa titik. Mari kita deretkan: Karangpandan, Kerjogadungan, Tawangmangu, Jumapolo, Jumapuro, Jatipuro, Ngadirojo, Sidoarjo, Girimarto, Jatisrono, Slogoimo, Bulukerto, Purwantoro, Nguntoronadi, Wuryantoro, Eromoko, Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, Batuwarno, Selogiri, dan Ngawen.
Petinggi istana menceburkan diri dalam bisnis tanaman ekspor butuh pakopen luas dan dataran tinggi. Ambilah contoh, pakopen Kerjogadungan berluas wilayah 1490 ha. Tanah berukuran 780 ha sudah ditanami kopi, lalu dataran tinggi seluas 425 ha ditanami kopi. Dari sekelumit informasi A.K Pringgodigdo (1977) terkuak, tahun 1917 di Kerjogadungan tumbuh pohon kopi di atas tanah 1100 bau (seluas ¾ hektar). Ditulis 300 bau jenis Liberia, 771 bau jenis Robusta, serta 29 bau jenis Quillon. Tanah seluas 1053 bau telah menghasilkan dan 47 bau (jenis Robusta) masih terlalu muda untuk dipetik. Pengelola perkebunan melapor ke Mangkunegara VII bahwa tahun 1919-1922 tanaman kopi jenis Java tidak berproduksi gara-gara mangsa rendeng (musim penghujan) terlambat datang.
Waktu merangkak pelan. Kopi Liberia terus mengalami kemerosotan. Atas titah pengawas mandor Eropa yang ditunjuk Gusti Mangkunegara, buruh kebun mengganti Liberia dengan Robusta ditanam pada 90 bau. Periode 1923 hasil panen Robusta dan Quillou di pakopen meningkat. Kahanan ini sigap direspon lewat penambahan luas lahan untuk ditanami kedua jenis tanaman itu. Lima tahun berlalu, panen raya kopi. Kopi Mangkunegaran per kuintalnya dibandrol f 72,90 hingga f 84,20.
Mula-mula, kopi di masa Mangkunegara IV (1853-1881) digudangkan di dekat pelabuhan Beton. Seiring pendangkalan Bengawan Solo, komoditas ekspor ini diusung memakai gerbong sepur menuju pelabuhan Semarang, selanjutnya dikapalkan membelah samudera. Kopi Mangkunegaran masuk jaringan internasional bersama kopi garapan pengusaha kulit putih di Vorstelanden (daerah kekuasaan kerajaan tradisional). Ekspor kopi menyasar sampai Belanda, Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Spanyol, Denmark, dan luar Eropa seperti Amerika Serikat dan Singapura.
Sekeping cerita kopi ini bukan sebatas menunjukkan masyarakat Nusantara akrab dengan tanaman kopi. Lidah orang Indonesia sedari lama berkawan dengan wedang kopi. Lebih dari itu, riwayat historis tersebut sejatinya meneguhkan pemikiran modern penguasa Mangkunegaran dalam merespon zaman. Sebagai bangsa pribumi, ia emoh kalah dengan pengusaha toewan kulit putih dalam berwirausaha komoditas ekspor. Juga menghancurkan mitos pribumi pemalas yang ditiupkan pemerintah kolonial Belanda. Inilah inspirasi sejarah yang bisa diunduh para pebisnis tanaman kopi dan minuman kopi di negeri Indonesia.
No responses yet