Nilai Budaya dan Makna Filosofis dalam Beksan Panji Sekar

beksan

Pasca  perjanjian  Giyanti  dan  Jatisari  di  tahun  1755,  kebudayaan  di  bekas Kraton Mataram disepakati oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Susuhunan Pakubuwana III menjadi dua. Meskipun Pangeran Mangkubumi pada saat itu, sudah menyiapkan konsep baru, namun ternyata Sri Susuhunan Pakubuwana III meminta konsep tersebut untuk beliau gunakan di Kasunanan Surakarta. Sedangkan, Sri Sultan Hamengku Buwana I diijinkan untuk melanjutkan budaya Mataram di Kasultanan Ngayogyakarta. Sehingga, budayanya (busana, tari, karawitan, dan lain-lainnya) disebut Mataramam. Tarinya juga disebut sebagai Beksa Mataram. Pengembangan Beksa  Mataram  di  Kraton  Ngayogyakarta  saat  itu  melibatkan  para  sentana  dan prajurit, khususnya Prajurit Nyutra dan Trunajaya. Oleh karenanya, Beksa Mataram memiliki sifat gagah dan kuat, namun juga bersifat luwes dan lincah. Nuansa patriotisme dan maskulinitas sangat kental dalam Beksa Mataram ini, bahkan untuk tari putrinya (Putero, 2021).

Kisah Panji kepada peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan empat orang tokoh penguasa Majapahit sejak awal berdirinya hingga kejayaannya, yaitu Krtarajasa Jayawardhana,   Jayanagara,   Ratu   Tribbhuwanottunggadewi,   dan   Rajasanagara (Hayam Wuruk). Hal itu menjelaskan bahwa kisah Panji sebenarnya kisah gubahan dengan mengacu pada peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi di wilayah Jawa bagian timur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kisah Panji sesungguhnya mengandung nilai kesejarahan, namun telah dibalut dengan berbagai kisah fiktif menjadikan cerita Panji enak dan menarik untuk diikuti. Peristiwa sejarah yang menjadi acuannya pun tidak hanya berasal dari riwayat hidup seorang raja, namun dari  banyak  raja.  Para  penggubah  kisah  Panji  telah  menjalin  dan  memadukan berbagai  riwayat  raja tersebut  dalam  satu  kisah  yang terpadu,  yaitu  Cerita Panji (Munandar, 2014: 14).

Melihat sumber ceritanya, yaitu Cerita Panji Jayakusuma banyak adegan peperangan. Hal ini menggambarkan bahwa Beksan Panji Sekar mengandung nilai kepahlawanan sebagaimana tergambar pada teks Panji Jayakusuma tersebut. Memang Beksan Panji Sekar adalah gambaran adegan peperangan antara Jayakusuma dengan Jayalengkara. Peperangan dilakukan dengan menggunakan senjata keris, panah dan juga tangan kosong. Disebutkan bahwa memang tari-tarian tersebut dimaksudkan sebagai latihan peperangan (gladhen) dengan meneladani tokoh-tokoh yang diperankan.

Nilai kepahlawanan tergambar pada kisahan atau cerita seputar pengembaraan salah seorang tokoh di antara tokoh utama (Panji atau Sekartaji) diikuti oleh para kadeyan atau pengikutnya dan disusul oleh tokoh yang lain karena mencari tokoh utama  yang  lain  (Sekartaji  atau  Panji).  Dalam  pengembaraan  itu  biasanya  tokoh utama selalu berperang dan mengalahkan musuh-musuhnya. Kisah diakhiri dengan pertemuan kedua tokoh utama dalam perkawinan.

Dalam  pengembaraan  itu,  kedua tokoh  dan  juga para pengikutnya  berganti nama atau menyamar. Panji berganti nama menjadi Klana Jayengsari, Kuda Narawangsa, Angronakung, Jayakusuma, Panji Amalat Rasmi, Bagus Umbara, dan seterusnya. Biasanya, nama samaran salah satu tokoh utama menjadi judul cerita. Misalnya, nama Panji Jayakusuma yang merupakan nama samaran Panji digunakan sebagai judul Serat Panji Jayakusuma (Saputra, 2014: 23-24).

B. Makna Filosofis

Beksa atau joged (tari) sudah ada dan berkembang sejak jaman dahulu sampai saat ini bersama dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan. Oleh karena itu, fungsi  tari  juga  berkaitan  dengan  semua  hal  dalam  kehidupan  manusia.  Tari, meskipun hanya satu di antara sekian banyak hasil kebudayaan, tetapi merupakan seni yang selalu berdekatan dengan manusia di kehidupannya. Hal ini juga pernah disampaikan  oleh  Pangeran  Suryadiningrat  bahwa,  yang  dinamakan  joged  (tari) adalah gerak seluruh anggota tubuh, ditata dengan irama gending, sesuai pasemon, dan apa yang dimaksud dalam tari tersebut (Sumaryono, 2005: 1).

Beksan Panji Sekar adalah salah satu produk budaya Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Elemen dasar  dari Beksa  Mataram adalah Wiraga, Wirama dan Wirasa (https://susetyohario.wordpress.com/2020/05/27/wirama-elemen-menari-yang-kedua/).  Wiraga terkait dengan sikap tubuh dalam menari (deg, gerak kaki, tangan, leher, kepala, dan lain-lain). Wirama berkaitan dengan kesesuaian

antara   tarian   dengan   iringan   musiknya   (gendhing). Sedangkan Wirasa adalah penghayatan atau penjiwaan sang penari terhadap tarian atau tokoh wayang yang diperankannya. Dalam rangka penjiwaan atau penghayatan inilah kemudian dikenal adanya Jogèd Mataram.

Susetyo   Hario   Putero   dalam   tulisannya   “Wirasa:   Puncak   Pencapaian Kepenarian Gaya Mataraman“, menyebutkan bahwa ada 4 elemen Jogèd Mataram. Yang    pertama   adalah Sawiji, yaitu konsentrasi total untuk menghidupkan tarian atau tokoh  yang  diperankannya. Hal ini akan tampak pada pandengan (tatapan  mata) sang penari yang tajam dan lurus. Elemen   kedua   adalah Greged yang   bermakna bersemangat yang terkendali, namun bukan emosi saat   menari.   Elemen   berikutnya adalah Sengguh,    yaitu   kepercayaan diri, namun bukan sombong.   Yang   terakhir adalah Ora Mingkuh, yang maknanya adalah sanggup dan tidak gentar untuk menghadapi tantangan untuk menarikan suatu tarian atau peran.

mataram

Jogèd  Mataram inilah  yang  akan  mengisi  rasa  dari  Beksa  Mataram.  Jika diibaratkan Beksa Mataram adalah raga atau fisiknya, maka Jogèd Mataram adalah isi atau ruhnya tari Gagrak (Gaya) Mataram. Saat kedua hal tersebut telah mampu berpadu,      maka      seorang      penari      akan      mampu      “Hanjogèd”      bukan “Jogèdan”. Jogèdan dalam konteks tari adalah hanya raganya saja yang bergerak, namun Hanjogèd berarti yang menari adalah jiwa dan raganya. Selain itu, penari juga akan mengalami apa yang disebut “Kothong Ananging Kebak”. Kothong dalam hal ini adalah menghilangkan ke-aku-annya. Kebak bermakna penuh dengan penghayatan atas tari dan tokoh yang diperankannya.

beksa

Ketika seorang penari belajar menari, guru tari hanyalah akan mengajarkan Beksa Mataram, khususnya Wiraga dan Wirama. Namun guru tari tidak pernah mengajarkan secara langsung Jogèd Mataram. Oleh karenanya, seorang penari harus terus menerus mencari dan mencari, hingga akhirnya setiap orang akan menemukan dengan caranya masing-masing. Tentu saja pencarian tersebut sangat membutuhkan kedisiplinan, kesabaran dan ketekunan dari sang penari. Seorang guru tari hanya penuntun dalam proses pencarian tersebut (mejet).

Tantangan dalam proses pencarian tersebut adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pada saat waktu untuk latihan berkurang karena frekwensi pentas sangat meningkat. Kualitas hanya dapat ditingkatkan dengan latihan rutin yang baik. Kuncinya adalah kesediaan untuk membuka hati kita agar mampu mendengar masukan dan kritik membangun dari siapa pun.

Dalam kehidupan sehari-hari penguasaan kita terhadap Jogèd Mataram akan membuat kita menjadi profesional dalam bekerja. Mengapa? Karena kita mampu fokus pada satu tujuan pekerjaan, bersemangat yang terkendali untuk mencapai tujuan tersebut,  percaya  diri  untuk  mampu  mencapai  tujuan  dan  berani  menghadapi tantangan dalam mencapai tujuan.

C. Relevansi/arti penting pada Masa Sekarang

Dongeng ‘asli Indonesia’ itu adalah cerita Panji, yang berisi kisah percintaan antara putra mahkota Kerajaan Jenggala, Inu Kertapati, dan putri ‘Sekar Kedathon’ Kerajaan Kediri, Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana).

Menurut dosen Institut Seni Indonesia (Yogyakarta) Sumaryono, cerita Panji adalah asli dari Jawa. Kisahnya diilhami oleh pembagian atau pembelahan wilayah antara sebelah timur Sungai Berantas yang disebut Jenggala dan di sebelah barat Sungai Berantas yang dikenal Panjalu, pada tengah abad II, atau tepatnya antara tanggal 20-24 November 1042 menjelang turunnya tahta Raja Airlangga.

”Namun, berdasarkan data yang lain, yakni yang ditulis Slamet Mulyana dalam buku tafsir sejarah Negarakretagama, cerita Panji bertitik tolak dari perkawinan Raja Panjalu ke-10 dengan Dewi Sasikirana dari Jenggala. Berdasarkan data ini, maka kemunculan cerita Panji diperkirakan antara akhir abad ke-12 sampai dengan awal abad ke-13 M,” kata Sumaryono dalam makalah yang disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Nusantara cerita Panji sebagai warisan dunia, akhir Oktober lalu, di Jakarta. (https://republika.co.id/berita/ng920a10/kisah-asmara-panji-dan-candrakirana-dongeng-indonesia-warisan-dunia).

Beksan Panji Sekar berhasil direkonstruksi pada tahun 1988 dan beberapa kali dipentaskan di luar kraton sebagai studi di ISI Yogyakarta. Baru pada tahun 2020 dipentaskan kembali dalam acara Uyon-uyon Hadiluhung dengan penambahan- penambahan baru yaitu musik barat yang dikolaborasi dengan musik gamelan. Hal ini karena semangat jaman selalu mewarnai pada setiap upaya rekonstruksi tari-tarian lama.

Setiap penciptaan beksan sejak masa HB I pada masa-masa berikutnya selalu mengalami penyempurnaan-penyempurnaan. Hampir semua karya budaya di kraton Yogyakarta  itu  pada  setiap  masa  pasti  akan  mengalami  penyempurnaan.  Setiap periode sultan yang berkuasa pada masa itu selalu berupaya menyempurnakan.

Dengan memahami dan mengetahui alur cerita Beksan Panji Sekar diharapkan masyarakat akan memahami dan meneladani jiwa patriotik yang disampaikan oleh para leluhur melalui karya budaya tari atau beksan tersebut. Dalam hal ini kisah patriotik Pangeran mangkubumi dalam berjuang melawan penjajah.

Pada tanggal 23 November 2020, Keraton Yogyakarta kembali mementaskan Beksan Panji Sekar pada gelaran Uyon-Uyon Hadiluhung Selasa Wage untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sesuatu yang berbeda akan mewarnai pertunjukan saat itu, yaitu perpaduan musik gamelan dengan alat musik gesek barat, seperti violin, biola, cello dan contrabass.

Kreativitas   ini   merupakan   bentuk   reintepretasi   Panji   Sekar   yang   lebih akulturatif dan dinamis. Pementasan tersebut disiarkan oleh radio dan juga diabadikan pada kanal Youtube Kraton Jogja, sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat luas. Hal ini menjadi bukti bahwa seni tradisi keraton dapat disaksikan dan dipelajari oleh masyarakat luas, tidak hanya terbatas lingkungan keraton.

Beksan Panji Sekar sebagai salah satu karya budaya yang di dalamnya terkandung berbagai nilai dan aspek yang sangat penting untuk digali, dipelajari, dan diwariskan kepada generasi muda sebagai penerus bangsa. Oleh karena itu, perlu berbagai  upaya  yang  harus  dilakukan  oleh  segala  elemen  masyarakat  maupun pemerintah untuk terwujudnya kelestarian Beksan Panji Sekar ini.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat. Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *