Wisata biru merupakan perpanjangan dari ekonomi biru, dimana kita tetap dapat menjaga dan merawat ekosistem laut seperti terumbu karang, keberlanjutan rantai makanan hewan laut, dan sumber daya pesisir lainnya untuk disinergikan dalam bentuk wisata pesisir (Brears, 2021). Menurut Fosse et al. (2019), Wisata biru sedang bertransisi menjadi wisata pesisir dan bahari yang berkelanjutan di lautan dunia. Pengelolaan wisata bahari harus direncanakan dengan baik dan arah kebijakan pengelolaan kawasan laut harus dilakukan. Tentunya dengan praktik pengelolaan bahari yang berkelanjutan, blue tourism akan dilakukan secara lebih objektif sesuai dengan perencanaan dan tren pasar dari blue tourism itu sendiri. Kita harus belajar dari negara-negara yang berhasil menjalankan blue tourism secara berkelanjutan (Supriyanto, 2021a).
Potensi laut yang begitu besar memerlukan perencanaan yang matang oleh daerah yang memiliki wilayah laut. Secara teknis, khususnya dalam pembangunan kelautan dan pesisir, diharapkan didasarkan pada strategi pembangunan berbasis ekonomi biru. Blue economy merupakan salah satu bentuk usaha dalam pembangunan daerah berbasis kelautan. Beberapa waktu lalu, Indonesia mengajukan proposal prinsip ekonomi biru pada Forum Rio+20. Artinya, pemerintah dan pemangku kepentingan telah membangun kesadaran sehari-hari untuk menginisiasi pembangunan daerah dengan mengutamakan potensi laut, khususnya untuk wilayah kepulauan.
Blue Tourism merupakan bagian dari blue economy yang memanfaatkan setiap potensi dan aspek pesisir menjadi potensi wisata yang dapat digali untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat sekitar destinasi (Pauli, 2010). Pemanfaatan kawasan pesisir ini juga harus sesuai aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Seringkali aspek pariwisata menjadi instrumen ekonomi. Sehingga pariwisata menjadi efek penggerak pembangunan ekonomi masyarakat di lingkungan tujuan wisata. Meski ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi pariwisata biru itu sendiri, namun potensi tersebut secara umum dapat dimaksimalkan oleh kementerian pariwisata. Pengelolaan lingkungan, pengaturan, dan perencanaan pesisir dan maritim pariwisata di sekitar laut regional yang berpengaruh adalah tujuan utama dari proyek penelitian dan inovasi jangka panjang yang dikenal sebagai “Pariwisata Biru”. Ini terdiri dari evaluasi kebijakan dan kegiatan multipihak untuk mengembangkan pariwisata biru berkelanjutan di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional (Techera & Winter, 2019). Wisatawan di seluruh dunia sangat tertarik dengan lingkungan pesisir dan laut, dan pariwisata pesisir dan bahari telah menjadi sektor ekonomi yang penting bagi negara-negara dengan pantai yang menarik dan mudah diakses. Namun, kegiatan dan subsektor yang terkait dengan wisata pesisir dan laut menunjukkan kerusakan lingkungan yang parah.
Tantangan utamanya adalah mempromosikan praktik pariwisata berkelanjutan di kawasan pesisir dan laut, memastikan eksternalitas positif bagi lingkungan, pekerja, dan komunitas lokal (Louey, 2022). Tantangan ini sangat relevan saat ini dalam konteks pemulihan dari krisis pariwisata terkait covid-19. Investasi besar-besaran yang disediakan oleh rencana pemulihan menawarkan peluang unik untuk mengubah sektor pariwisata menjadi sektor yang lebih adil dan berkelanjutan. Konsep blue tourism yang akan dibahas di sini tentunya tidak bersifat makro. Apa yang ingin disampaikan dalam tulisan ini tentu akan berkaitan dengan gagasan SDGs. Karena konsep dalam SDGs juga dikaitkan dengan sumber daya laut. Merencanakan dan membangun program dan kebijakan pariwisata berkelanjutan yang mempertimbangkan semua aspek pembangunan berkelanjutan pariwisata biru, serta bagaimana mereka berhubungan dengan dan memajukan tujuan lingkungan global seperti SDG Agenda 2030 untuk konsumsi dan produksi berkelanjutan, perubahan iklim, dan konservasi laut, serta Perjanjian Paris atau CBD.
No responses yet