Dalam kehidupan riil, ideologi gender mempengaruhi tingkah laku & pilihan-pilihan perempuan dan laki-laki yang menentukan hubungan sosial-ekonomi diantara mereka dalam masyarakat (termasuk dalam dunia kerja). Menurut Humphrey (Saptari & Holzner, 1997;207), “dalam dunia kerja, identitas gender dalam dunia kerja sangat dipengaruhi oleh berbagai stereotype yang umumnya menempatkan laki-laki sebagai nafkah utama, pekerja trampil, bertenaga kuat, dan berkompetensi teknis. Sebaliknya perempuan sebagai pekerja sekunder, tidak trampil, berfisik lemah, dan tidak mempunyai kompetensi teknis”. Dalam kenyataannya Ideologi gender yang dikontruksi masyarakat menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua.
Laki-laki diorientasikan ke bidang publik, sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab memenuhi ekonomi keluarga, yang dianggap mempunyai nilai sosial-ekonomis tinggi, sebagai institusi utama dalam masyarakat modern. Sedangkan perempuan pada bidang domestik (bertanggung jawab terhadap pemeliharaan keluarga dan tugas dalam Rumah Tangga) yang dianggap kurang mempunyai nilai sosial-ekonomi. Struktur hubungan gender yang timpang ini diciptakan atau dipertahankan tidak terlepas dari kepentingan sekelompok orang yang menguasai sumberdaya ekonomi (kapitalis) maupun sistem sosial-ekonomi yang partriarkhi (Abdullah, 1995: 5; Saptari & Holzner, 1997:207).
Kajian pustaka tentang pengaruh pariwisata dalam proses pembangunan memperlihatkan perhatian yang kecil pada pengaruh pariwisata bagi peran perempuan dalam dinamika sosial. Beberapa penelitian mencatat bahwa pariwisata turut andil dalam perubahan gender perempuan di beberpa tempat, sedangkan penelitian yang lain memperlihatkan bahwa pariwisata memperluas kesempatan perempuan untuk lebih berperan dalam bidang ekonomi, sosial bahkan politik. Di beberapa tempat perempuan lebih berperan dalam perubahan ekonomi yang dibawa pariwisata dan mendapatkan keuntungan dari perubahan ini dibandingkan laki-laki (Brown & Switzer, 1991 dalam Wiwik, 1997).
Walaupun demikian banyak penelitian telah mengungkapkan pula dampak negatif pariwisata pada perempuan. Pembahasan dampak negatif ini berkisar pada eksploitasi perempuan kerana pelacuran dan pelecehan seksual dalam kegiatan pariwisata (Truong, 1990; Holden, Horlemann, Plaffin, 1985). Indonesia sesungguhnya telah menempatkan posisi perempuan pada level yang sejajaar dengan laki-laki, terutama dalam masalah ketenagakerjaan, karena disadari atau tidak perempuan mempunyai peran ekonomi yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Bila melihat fenomena yang berkembang saat ini masalah ketenagakerjaan wanita terlihat ada berbagai kesenjangan walaupun undang-undang ketenagakerjaan telah menjamin segala hak dan kewajibannya.
Masih banyak perusahaan yang mempekerjakan perempuan di luar peraturan yang ada. Mereka masih diperlakukan tidak adil dan hak-haknya sebagai pekerja dilanggar seperti terjadi diskriminasi, bahkan sampai kepada pelecehan seksual. Ironisnya kenyataan seperti itu jarang sekali terungkap sehingga memberi peluang kepada pihak pengusaha untuk terus mempekerjakan perempuan meski masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan yang rendah serta dengan imbalan (upah/ gaji) yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (domestik).
Walaupun para perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan tersebut merupakan perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga misalnya bidan, juru rawat, guru, sekretaris dan pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Begitu pula mengenai upah dan gaji sudah menjadi rahasia umum jika upah pekerja perempuan lebih rendah dari pekerja laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Meskipun prospek pekerja perempuan cukup baik dilihat dari pertumbuhan angkatan kerja perempuan lebih cepat dari angkatan kerja laki-laki, namun tuntutan persamaan hak atas perolehan upah atau gaji dengan laki-laki belum sepenuhnya berhasil. Hal ini disebabkan oleh selain sumberdaya pekerja perempuan masih rendah juga disebabkan oleh absentisme dan pemutusan hubungan kerja di kalangan pekerja perempuan cukup tinggi. Akibatnya pihak perusahaan enggan menginvestasikan sumberdaya mereka untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada pekerja perempuan. Sementara pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari selama ini masih mengalami berbagai kendala yang dapat diartikan bahwa kaum perempuan belum saatnya untuk mandiri secara total. Misalnya pekerja perempuan tidak bisa bekerja dalam kondisi sedang hamil, harus mendapat ijin dari suami, keluarga dan perusahaan harus menyediakan angkutan antar jemput. Di dalam keluarga biasanya laki-laki mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan perempuan.
Hal ini sangat jelas pada keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit. Orang tua cenderung memilih anak laki-laki untuk melanjutkan studi daripada anak perempuan sehingga pada akhirnya akan berdampak kepada perbedaan pengetahuan dan kemampuan (Sumanto, 1993). Kaum perempuan mengalami diskriminasi tidak saja di sektor domestik, di sektor publikpun perempuan mengalami hal yang sama. Sangat jarang pada masyarakat industri yang perempuannya secara ekonomis setara dengan laki-laki, karena era industrialisasi sangat kental dengan bias jender berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Sistem ekonomi industri kapitalis mengutamakan pertumbuhan dan mendorong konsumsi justru menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi di bidang ekonomi dapat dilihat dari kesenjangan upah yang diterima perempuan dibanding laki-laki. Kesenjangan tersebut dapat dilihat pada setiap kategori seperti tingkat pendidikan, jam kerja dan lapangan pekerjaan. Semakin rendah tingkat pendidikan perempuan maka semakin besar kesenjangan upah yang diterima terhadap laki-laki. Secara umum dapat diungkapkan bahwa perempuan Indonesia sudah mencapai kemajuan yang nyata dalam pendidikan, kesempatan kerja dan keterlibatan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.
Namun, jika diamati lebih mendalam akan dijumpai kenyataan bahwa kesempatan yang diperoleh perempuan masih tertinggal dibanding dengan laki-laki. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa di dalam masyarakat yang diwarnai oleh emensipasi yang sudah maju sekalipun, karakteristik pekerjaan perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh faktor yang sama. Berbagai jenis pekerjaan dianggap cocok dengan karakteristik perempuan contohnya seperti pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Keterbatasan peluang kerja perempuan berkaitan erat dengan modal yang dimiliki oleh tenaga kerja perempuan yang secara umum dapat dikatakan human capital perempuan yang meliputi pendidikan, latihan dan pengalaman relatif masih rendah. Kondisi seperti itu juga dirasakan oleh tenaga kerja perempuan di sektor pariwisata dihadapkan pada persoalan dilematis peran ganda antara keluarga dan profesi.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat. Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470.
Kata kunci: Konsultan pariwisata, kajian pariwisata, RIPPARDA, Bisnis Plan.
No responses yet