Pengaruh gaya budaya Individualisme dan Kolektivisme

Triadis (1995) menjelaskan kolektivisme sebagai suatu pola sosial yang terdiri dari individu-individu yang melihat dirinya sebagai bagian yang utuh dari satu kelompok atau lebih, seperti keluarga atau teman kerja. Masyarakat yang lebih berkelompok masih dipengaruhi oleh norma dan kewajiban yang dibuat oleh kelompok itu sendiri, memberikan prioritas untuk tujuan kelompok dan mencoba untuk mempertegas hubungan antar individu dalam kelompok. Ia menggambarkan individualisme sebagai suatu pola sosial yang terdiri dari individu-individu yang melihat diri mereka sebagai seseorang yang otonom dan mandiri. Masyarakat yang lebih individualis dipengaruhi oleh pilihan, kebutuhan, dan hak mereka, memberikan prioritas untuk tujuan pribadi mereka, serta menekankan analisis rasional dalam berhubungan dengan orang lain (Triadis, 1994). Pola sosial semacam ini akan berpengaruh pada perilaku pembelian impulsif melalui pengaruhnya terhadap identitas diri seseorang, respon terhadap pengaruh norma, serta kebutuhan (atau kurangnya kebutuhan) dalam menekankan keyakinan internal agar dapat bertindak dengan tepat.

Kecenderungan untuk fokus pada pilihan dan keselarasan kelompok dalam budaya berkelompok mendorong pada kemampuan untuk menekan sifat internal (pribadi) pada keadaan tertentu. Oleh karena itu, masyarakat yang berada dalam budaya berkelompok seringkali mengubah perilaku mereka bergantung pada suasana atau pada apa yang “tepat” bagi situasi yang ada. Di antara masyarakat yang berkelompok, seseorang terlihat lebih dewasa ketika ia mengesampingkan keinginan pribadi dan bertindak dengan cara yang tepat dibandingkan dengan tetap teguh pada pendirian dan kepercayaan pribadi. (Triadis, 1995). Akibatnya, hubungan pendirian tujuan (Bagozzi, Wonge, Abe, & Bergami, 2000; Lee, 2000) dan perilaku (Kashima, Siegal, Tanaka, & Kashima, 1992) lebih lemah dalam budaya berkelompok dibandingkan dengan individu. Pola semacam ini cenderung membawa pada hubungan perilaku pembelian impulsif.

Budaya berkelompok lebih menekankan pada pengaturan dan pembatasan emosi seseorang dibandingankan dengan budaya individual. (Potter, 1988; Russell & Yik, 1996; Tsai & Levenson, 1997). Sebagai contoh, pengaturan keselarasan dalam kelompok bergantung pada kemampuan anggota dalam mengatur emosi mereka. Singkatnya, budaya mungkin akan mempengaruhi pengalaman emosi seseorang dengan menentukan pengungkapan perasaan seseorang dengan tepat (McConatha, 1993). Budaya mempengaruhi baik itu “aturan perasaan”, bagaimana individu mengartikan lingkungan, maupun “aturan penampilan”, di mana emosi diungkapkan dan bagaimana cara pengungkapannya (Ekman, 1972). Contoh lain, masyarakat yang berbudaya Asia (berkelompok) telah dapat mengatur emosi negatif dan hanya menunjukan emosi poisitif pada saat berkenalan (Gudykinst, 1993).

Dalam budaya individual, masyarakat seringkali mengabaikan akibat negatif yang ditimbulkan dari perilaku pembelian impulsif (lihat Rook, 1987), lebih cenderung untuk fokus pada akibat positif yang ditimbulkan dari tindakan serta persaan dan tujuan mereka. Hal tersebut mungkin tidak tepat untuk masyarakat dari budaya berkelompok yang lebih cenderung fokus pada akibat negatif yang ditimbulkan dari perilaku mereka serta pengaruh tindakan mereka terhadap anggota kelompok mereka (Triadis, 1995). Kemungkinan terbesar yang mungkin terjadi adalah bahwa masyarakat dalam budaya berkelompok akan mempertimbangkan akibat negatif dari tindakan mereka dalam menyempitkan hubungan perilaku hasrat untuk berbelanja.

Perbedaan antara indidualis dan kolektivis (kelompok) dijelaskan dengan menguji penyewa dimana pola budaya individual dan kelompok dipusatkan. Seperti yang dijelaskan oleh Triandis, Kagiycibasi, Choi, and Yoon (1994) bahwa masyarakat individualis Barat didasarkan pada penganut liberalisme. Pada masyarakat semacam ini, seorang individu didorong untuk lebih rasional dan diberikan hak individual untuk menetapkan tujuan mereka serta dapat memilih dengan bebas. Sebaliknya, masyarakat kolektif kawasan Asia Timur didasarkan pada konfusianisme yang menawarkan tujuan yang biasa serta keselarasan sosial di antara ketertarikan individualnya. Dalam setiap masyarakat, perbedaan tersebut dikuatkan dalam tingkat budaya melalui institusi sosial seperti sekolah, kantor, dan di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, masyarakat yang sangat ambisius (yakni yang lebih individualis) yang tumbuh di China cenderung lebih baik dalam mengontrol emosi mereka dalam berbelanja dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di Amerika Serikat yang sangat terfokus pada keluarga (yakni lebih mementingkan kelompok). Dalam masyarakat berkelompok, seorang individu didorong untuk menekan keinginan demi kesenangan semata yang juga demi ketertarikan serta tujuan kelompok.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fourteen − 3 =

Latest Comments