Pusat Dan Pinggiran; Seputar Etnis Betawi

Istilah Betawi tidak banyak diketahui sampai dengan tahun 1950an dan menjadi popular saat Ali Sadikin menjabat Gubernur. Ada tiga alasan yang menyebabkan demikian. Pertama, pada tahun 1957 Firman Muntaco, salah satu tokoh Betawi, masih menamakan rubriknya sebagai Tjermin Djakarte pada surat kabar Berita Mingguan. Kedua, di era Orde Lama didirikan perkumpulan yang masih mengidentifikasi diri sebagai perkumpulan orang-orang Jakarta dan Permata oleh para pengasas Bamus Betawi. Ketiga, pada masa lampau, ‘orang asli/pribumi Jakarta mengidentifikasi dirinya dengan sebutan orang sini, seraya menyebut nama kampung kelahirannya, seperti Orang Kemayoran, Orang Kemang, Orang Condet, dan seterusnya. Mereka tidak menyebut dirinya sebagai Orang Betawi.

Jadi orang-orang itu, menurut Bang Yahya, adalah “Orang Betawi adalah orang sini yang nggak punya satu nama yang mengikat semua, akhirnya mereka menamakan dirinya orang tempatan. Jadi orang-orang pada saat itu lebih menonjolkan kawasan-kawasannya, enclave-enclave mereka. Nama Betawi kan sebetulnya, memang dia, menjadi satu kesatuan yang utuh atas nama etnik ketika si kaum Betawi itu muncul. Tapi dulu-dulu, dia (orangnya) sudah ada, (tapi) belum disebut Betawi.” Identitas Betawi menarik perhatian publik dan memunculkan perdebatan panjang di kalangan akademisi saat Lance Castles (1967). Orang-orang Betawi berasal dari budak-budak yang didatangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dipekerjakan dan kemudian membentuk komunitas yang menjadi nenek moyang masyarakat yang kini disebut masyarakat Betawi.

Berdasarkan pendapat Castles ini, sebagian orang kemudian berkesimpulan bahwa Betawi muncul sebagai etnik pada saat Mohammad Husni Thamrin mendirikan Perkumpulan Betawi. Teori Castles ini ditentang keras oleh banyak sarjana karena menganggap Castles mengabaikan penduduk tempatan yang saat itu sudah mendiami wilayah tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kajian arkeologis yang membuktikan bahwa terdapat berbagai benda-benda peninggalan penduduk asli yang mendiami wilayah yang kini disebut Jakarta dan sekitarnya. Secara geografis sulit menjelaskan di mana suku Betawi tinggal, termasuk juga dalam pengertian geografis administratif. Wilayah persebaran masyarakat etnik Betawi dapat dipahami bersamaan dengan kebudayaan yang dianutnya. Yahya Andi Saputra (akrab disapa Bang Yahya), Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) DKI Jakarta yang juga aktif dalam kepengurusan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), mengatakan; “Jadi, Betawi itu bukan kita ngomongin wilayah administratif tetapi wilayah kultur. Kalau (berdasarkan) wilayah kultur itu, mengacu pada buku (hasil kajian ilmiah), etnik Betawi mendiami wilayah mulai dari Mauk di Tangerang sampai Bekasi bahkan hingga ke Batujaya di Karawang. Untuk dialek (bahasa) tentu nanti berbeda.”

Jika ada yang membedakan kelompok etnis ini, itu adalah dialek dalam penggunaan bahasa dan berbagai variasi tradisinya. Masyarakat Betawi Kampung Sawah, misalnya, meski mengidentikkan diri sebagai suku Betawi, memiliki ciri khas yang membedakan mereka dengan Betawi di wilayah lainnya, seperti bahasa, tradisi ritual daur hidup, dan juga sistem kekerabatan yang mereka gunakan, seperti penggunaan marga sebagai nama belakang mereka.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.

Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 × three =

Latest Comments