Yang tak dimiliki kota lain di Indonesia adalah rel kereta api yang membelah kota. Rel galibnya berada di pinggiran, tapi berbeda dengan Solo. Dari Stasiun Purwosari, orang bisa naik Railbus Batara Kresna dan sepur klutuk Jaladara melintasi rel tersebut. Batara Kresna beroperasi setiap hari dua kali mulai pukul 06.00 dan 10.00. Rutenya Stasiun Purwosari-Stasiun Solo Kota-Stasiun Sukoharjo-Stasiun Pasar Nguter-Stasiun Wonogiri. Perjalanan dari Purwosari menuju Solo Kota melintasi jalan Slamet Riyadi. Penumpang cukup merogoh koceh relatif murah. Ada pun pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan sangat memanjakan mata. Terlebih jika naik pada pukul 06.00. Dengan duduk di kursi sebelah kiri, Anda akan disuguhi pemandangan alam. Dari kejauhan terlihat Gunung Lawu yang menjulang tinggi. Pancaran sinar matahari pagi yang belum sepenuhnya meninggi menyajikan siluet Gunung Lawu.
Sementara itu, kereta api uap Jaladara berjalan lebih lambat. Ia membawa kita menikmati suasana tengah kota melewati rel warisan era kolonial ini. Terdengar lengkingan dari dari cerobong asap: tuuuuuuttttt … tuuuuttttt …. Tuuuuuttttt. Sepur Kluthuk Jaladara menempuh perjalanan sekitar 5,6 km, dari Stasiun Purwosari menuju stasiun Solo Kota Glagah. Pulang pergi, kereta api ini menempuh perjalanan sekitar 2 jam.
Menaiki dua armada dari Purwosari ini, penumpang serasa kembali pada suasana Solo tempo doeloe. Daun kalender menunjuk angka 1892. Di Solo sebelah barat, hadir kereta perkotaan yang dikelola oleh Solosche Tramweg Maatschappij (STM) dengan pusat pemberhentiannya di Purwosari.
Trem uap yang berbunyi neng neng neng itu mulai berjalan di halte depan Benteng Vastenburg. Jalurnya ke selatan belok ke barat sampai Purwosari. Kereta yang semula ditarik kuda tersebut berhenti sekali di Kampung Kauman, Kampung Derpoyudan (sebelah barat Nonongan), lalu melaju di halte Pasar Pon. Selanjutnya, kereta berhenti lagi di depan Taman Sriwedari (Kebon Rojo) yang merupakan taman hiburan bagi warga. Kereta berjalan lagi sampai belok ke utara, menyeberang jalan raya dan berhenti ke Stasiun Purwosari.
Kuntowijoyo (2000), sejarawan yang pernah gedhe di kota yang disebut “jantung pulau Jawa” ini, menyediakan data mengenai jumlah penumpang trem periode 1899. Rute Purwosari menuju Javasche Bank (kini kantor Bank Indonesia) ada 70.368 orang, sedangkan dari Javasche Bank menuju Purwosari mengangkut 80.506 orang. Kemudian, tercatat 194.012 penumpang dari Purwosari ke berbagai arah.
Demi menarik minat kelompok berduit dan waktu lebih teratur, perusahaan tidak segan merogoh kocek untuk memasang iklan jadwal pemberangkatan trem di koran. De New Vorstenladen bertitimangsa 2 Januari 1899 memuat jadwal keberangkatan dan kedatangan trem secara rinci. Tergambar seorang pelancong yang datang dari Madiun berharap pergi ke Yogyakarta di hari yang sama bisa mengambil jalur kereta dari Jebres pada pukul 9.45 dan mencapai Purwosari jam 10.20. Lewat catatan pribadi, mantan asisten wedana Sragen, Tiknopranoto memperkaya pengetahuan. Diterangkan, kala itu, telah ada kereta. Tempatnya di Stasiun Purwosari, Balapan, dan Jebres. Di Gladag di depan Beteng terdapat halte beratap seng.
Paparan fakta di atas menunjukkan bahwa rel tengah kota di masa silam sudah menjadi rute penting dalam jagad pariwisata. Ia turut membangun jaringan ekonomi lintas daerah serta menumbuhkan interaksi sosial (Heri Priyatmoko, 2015). Penjelasan historis ini penting dikabarkan pada khalayak demi menumbuhkan kesadaran merawat heritage, selain mempromosikan Railbus Batara Kresna dan sepur klutuk Jaladara dalam kepentingan pariwisata.
No responses yet