Sistem Penanggalan Candra Sunda dalam Akulturasi Antara Budaya Sunda dengan Islam

Penanggalan sendiri saat ini lebih dikenal dengan kalender, berasal dari kata tanggal yang berarti takwim atau kalender itu sendiri (Poerwardarminta, 1976), dapat pula diartikan sebagai proses atau cara penanggalan itu sendiri, dan dapat disebut pula almanak yang merupakan sebuah sistem perhitungan yang bertujuan untuk mengorganisasi waktu dalam kurun periode tertentu (Hambali, 2011). Artinya, sistem perhitungan ini bergantung pada benda-benda langit terutama Bulan dan Matahari yang digunakan sebagai penentu hari, bulan, tahun, serta yang berada didalamnya. Dengan adanya sistem penanggalan ini manusia dapat dengan mudah mengetahui adanya pergantian waktu, menentukan hari-hari istimewa dan dapat mengingat/mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan mudah pada tanggal, hari, dan tahun tertentu. Selain adanya pergantian waktu

hari dan tahun dan dengan adanya pergerakan revolusi Bumi, maka terdapat pergantian musim pula. Sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang kompleks mengenai penanggalan Sunda ini, dikarenakan masyarakat Sunda sendiri tidak lagi akrab dengan kalender mereka sejak sekitar 700 tahun yang lalu. Hasil perhitungan sistem penanggalan Sunda saat ini ialah hasil dari penelitian seorang putra bandung, yaitu Ali Sastramidjaja yang telah membaca buku Wangsakerta Nagarakertabumi yang secara rinci menjelaskan bahwa kejadian di Babat terjadi pada hari Selasa wage, 13 Suklapaksa, bulan Candra tahun 1279 Caka dan merasa bahwa semua sistem penanggalan tidak konsisten dan juga selalu terdapat perbedaan penentuan hari puasa dan hari raya. Karena peristiwa apa pun pada zaman dulu sebelum masuknya Islam Nusantara ke Indonesia, selalu dicatat dengan tahun Caka, maka sistem penanggalan Sunda lah yang pada saat itu digunakan, namun ahli sejarah mengatakan bahwa itu tahun Saka Hindia, dan di sinilah letak kesalahannya, karena Caka sendiri menggunakan sistem lunar (Bulan), sedangkan Saka Hindia menggunakan sistem solar.

Sitem penanggalan Caka Sunda atau Kala Candra Sunda ini menggunakan siklus sinodik bulan atau sistem peredaran bulan dari ijtima’ ke ijtima’ selanjutnya dengan rata-rata 29,55 hari dan dengan melihat fase-fase bulan yang sama secara berurutan. Pada dasarnya mengacu pada perjalanan bulan yang berevolusi terhadap Bumi, yang diawali dengan adanya pergantian bulan baru atau disebut dengan konjungsi (Hambali, 2012). Kala Caka Sunda sendiri merupakan gabungan dari kalender astronomis yaitu Ppnanggalan yang didasarkan pada posisi benda langit saat itu dan sistem aritmatis yang menyelaraskan hitungan posisi benda langit dengan kalender terdahulu.

Kala Caka Sunda inilah yang digunakan di Nusantara, namun penanggalan ini sudah dilupakan sejak sekitar 700 tahun yang lalu dan dengan masuknya pengaruh Hindu pada abad ke 5 Masehi yang dibawa oleh orang-orang India ke Indonesia, masyarakatnya mulai terpengaruh dengan sistem penanggalan Saka mereka. Padahal Kala Caka Sunda ini jauh berbeda dibandingkan kalender Saka India. Kemudian, masuknya Islam ke Nusantara juga menyebabkan terjadinya pencampuran budaya Sunda dan agama Islam. Sejak saat itu, masyarakat Sunda banyak memeluk Islam dan merayakan hari-hari istimewa, seperti seperti aqiqah, pernikahan, puasa dan hari raya dengan menggunakan kalender Islam. Kegiatan masyarakat Sunda sendiri, sekarang masih baru ada kabar burung yang mengunakan kalender Caka Sunda ini seperti halnya dalam pelaksanaan tradisi Seren Tahun dengan berbagai kesenian Sunda, namun juga terdapat doa-doa memohon keselamatan kepada Allah yang sekarang biasanya dilakukan pada bulan panen, menentukan hari panen dan menentukan hari baik (poe hade) dan jelek (poe goreng), juga melaksanakan kebiasaan “ngabumbang”, yaitu bercerita dan mengobrol di tempat mereka dapat melihat dengan jelas cerahnya bulan purnama pada saat bulan purnama.

Kalender Caka Sunda yang telah lama dilupakan telah lahir kembali berkat penelitian dari Aji Sastramidjaja yang menghabiskan kurun waktu 10 tahun. Sejak masuknya India dan Islam di Nusantara, sistem penanggalan Caka ini dikira sama dengan penanggalan Saka, padahal sistemnya sendiri sangat berbeda. Kalender Saka menggunakan Matahari sebagai dasar acuannya, sedangkan Caka menggunakan fase peredaran Bulan mengelilingi Bumi sebagai dasar acuannya. Adanya pergantian siang dan malam dalam kehidupan manusia, kalender memiliki peranan penting dengan sistem perhitungan yang memiliki tujuan sebagai pengelola waktu dalam periode tertentu.

Masuk dalam faktor budaya dan agama, masyarakat Sunda sangat menerima adanya sistem penanggalan dari suku mereka yang membuat mereka berpikir bahwa Kala Caka ini merupakan sebuah peninggalan nenek moyang berupa matriks seperti halnya seni dengan adanya kaitan dengan prasasti Astanagede Kawali yang harus dijaga dan diwariskan. Dalam kenyataannya masih belum banyak masyarakat Sunda yang menggunakan kalender mereka sendiri, karena sudah terlanjur nyaman dengan kalender hijriah dan masehi, seperti halnya melaksanakan ritual hajat sasih yang masih menggunakan kalender hijrah dengan penyebutannya sebagai contoh Muharram bukan Kartika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *