Kore merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima Provinsi NTB. Suku Kore memiliki tinggalan budaya benda dan tak benda serta aspek kewilayahan yang menyatu dengan panorama savanna Gunung Tambora. Warisan budaya tak benda merupakan bagian yang penting bagi peninggalan sejarah, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni. Warisan budaya tak benda bersifat tak dapat dipegang, sifatnya berlalu dimakan waktu. Dimana tidak bisa mengikuti perkembangan zaman seperti bahasa, musik, tari dan berbagai struktur lain. Adapun unsur budaya tak benda yang ada di suku kore antara lain sebagai berikut:
- Tradisi Lisan Kore (Kore Oral Tradition)
Bahasa kore merupakan bahasa yang pernah digunakan oleh sebagian masyarakat di Kecamatan Sanggar. Namun saaat ini bahasa Kore tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sanggar. Hanya sedikit dari generasi tua yang masih ingat bahasa Kore. Saat ini, masyarakat Sanggar cenderung menggunakan Bahasa Bima. Kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya telah mendorong beberapa pemerhati budaya, khususnya generasi muda untuk mempelajari kembali bahasa Kore dan mengajarkannya di sekolah-sekolah.
Dilihat dari karakternya, bahasa Kore memiliki kemiripan dengan beberapa karakter dari daerah Sumbawa, Lombok, Mangarai, Donggo dan Sambori. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Sanggar menyatukan suku bangsa dari berbagai daerah di Indonesia.
- Legenda La Hami Kore, merupakan legenda kore yang diturunkan dari generasi ke generasi. Legenda ini semakin mengemuka setelah direkrut oleh Marah Rusli dalam novel La Hami yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1953 oleh Balai Pustaka. Sejak diterbitkan, masyarakat Sanggar dalam novel ini lebih memperhatikan tokoh La Hami dan membanggakannya. Masyarakat mulai membawa sosok ini ke dalam gaya hidup mereka, seperti mewariskannya kepada para pemuda Korea agar memiliki kepribadian heroik seperti La Hami. Karakter La Hami berfungsi sebagai media pendidikan karakter, pernatara budaya, dan seni pertunjukan.
- Hikayat Dae La Minga, di Sanggar ini merupakan sebuah hikayat yang sangat melegenda berkembang di masyarakat. Jika La Hami adalah representasi dari sosok laki-laki, maka Dae La Minga adalah representasi dari sosok perempuan yang terkenal dengan kecantikannya sehingga banyak pria yang memperebutkannya dan mempertaruhkan nyawa untuk mencapainya yang mengakibatkan sering terjadi konflilk dan pertumpahan darah. Akibat sering terjadi pertumpahan darah, maka orang tuanya sepakat untuk membuang La Minga kedalam gelombang sungai yang bermuara ke laut. Keindahan La Minga ini digambarkan dalam pepatah “Waja oh ngahana, ninu oi nono na”.
- Kesenian (performing art), terdapat beberapa jenis tarian tradisional, antaralain Tari Toja yang dibawakan oleh dua orang penari laki-laki yang membawa tombak. Kemudian tarian penyambutan tamu raja atau tamu lainnya yang ditarikan oleh enam orang gadis. Ada juga Tari Roa Wura yaitu tarian menyambut bulan. Selanjutnya adalah Tari Dae La Minga yang berkaitan dengan legenda kerajaan Sanggar. Kemudian ada juga tari Dewa yang dibawakan oleh sembilan penari dan juga ada tari kreasi baru yaitu Tari Tenun dan Tari Perkebunan Padi.
- Tradisi Sosial (social practice)
Terdapat beberapa, antara lain:
- Ngaha dana, yaitu acara doa bersama di pinggir jalan desa dengan makanan utama bubur (kawiri) olahan masyarakat dan karaba (popcorn dari padi ketan).
- Salunga oha, yaitu tradisi makan bersama di acara-acara atau perayaan masyarakat, yang akan mencakup sunat, pengendalian kelahiran dan pengamanan lainnya.
- Pacoa jara (pacuan kuda), pacuna kuda di kore terkenal dengan kuda yang selalu digunakan oleh negara lain sebagai kuda perang. Tradisi ini dilakukan ketika air laut surut fi Labukore. Sampai saat ini, pacuan kuda masih dilakukan di tepi sugai. Tradisi ini dilakukan setiap bulan Agustus.
- Nggalo, merupakan tradisi berbutu yang hanya dilakukan di sebuah tempat bernama Tengke yang terletak di Desa Piong. Berburu di Tengke hanya terjadi ketika raja dan tamu kerajaan ingin berburu. Nggalo ini tidak diperuntukkan untuk masyarakat umum, karena Tengke hanya untuk keluarga dan tamu raja.
- Ngguda, yaitu tradisi bercocok tanam saat musim hujan tiba.
Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.
Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata
Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470
No responses yet