Upacara Adat Rambu Solo

Upacara adat rambu solo merupakan ritual adat yang berkaitan dengan kematian seseorang. Tujuan upacara ini adalah untuk menghormati arwah atau jiwa seseorang yang telah meninggal dan mengantarkannya menuju alam roh atau dapat dikatakan sebagai penyempurnaan arwah manusia yang meninggal.

Upacara ini dimulai dari tahapan ditunjukkan dengan suasana perkabungan yang ditandai dengan banyaknya orang berbaju hitam. Selanjutnya ketika sang mayat masih ada dirumah duka, maka keluarga akan mengaakan kebaktian yang dipimpin oleh pemuka agama. Setelah kebaktian dilakukan aka nada yang memberikan aba-aba berupa teriakan ‘’angka’mi’’ yang ditujukan pada kaum laki-lai yang ada disekitar rumah duka unuk mengangkat peti mayat.

Selanjtnya ajenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonanpertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Ketika peti mayat sudah ada di tongkonan, maka akan dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban, atau dalam Bahasa Toraja Ma’tinggo Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraj dengan cara menebas kerbay dengan parang satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan didisembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Setelah satu hari di tongkonan pertama, jenazah dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak keatas lagi, yaitu tongkonan barebatu, disini juga menyembelih kurban dan akan dibagikan ke orang-orang sekitar tongkonan tersebut. Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja) yang depannya terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, yang juga dipakai oleh wanita pada saat prosesi pengarakan). Prosesi engarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Keluarga dekat ikut mengusung keranda dan para lelaki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan para wanita menarik lamba-lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pertama kita akan melihat orang yang membawa gong sangat besar, lalu diikuti dengan tompi seratu, belakangnya ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir duba-duba.

Jenazah akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bamboo dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu berfungsi sebagai tempat tinggal sanak saudara, karena selama acara berlangsung mereka semua tidak boleh kembali ke rumah dan menginap di lantang yang telah disediakan. Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (Menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang palinn gtinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutna adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang dating dari penjuru tanah air. Sore harinya, setelah acara berahir akan dilanjutkan dengan hiburan dengan mempertontonkan ma’pasilaga  tedong (adu kerbau). Menurut kepercayaan Aluk To Dolo di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.

Kami selaku konsultan pariwisata mengucapkan terimakasih kepada Instansi terkait atas kepercayaan dan kerjasamanya. Demikian artikel penelitian pariwisata ini disusun, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pembangunan pariwisata setempat.

Kata kunci: Konsultan pariwisata, penelitian pariwisata, kajian pariwisata

Untuk informasi mengenai penelitian pariwisata, berupa kajian atau pendampingan lebih lanjut dapat menghubungi Admin kami di +62 812-3299-9470

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

19 − 7 =

Latest Comments