Dinamika Pelestarian Kesenian Senjang di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi

batanghari

Ramainya hubungan dagang antara orang melayu dengan bangsa arab, india dan cina sejak sekitar abad ke 7 masehi mempengaruhi dinamika kesenian senjang. Melayu merupakan genre musik yang penting, meskipun sebenarnya memiliki makna yang beragam. Orkes melayu bermakna ansambel musik yang digunakan untuk mengiringi lagu-lagu berbahasa melayu. Yang dinyanyikan dengan gaya vocal yang ditandai dengan berbagai ornament seperti gamak atau cengkok, dan dikaitkan dengan musik etnis melayu. Simatupang menyebut sebelum pertengahan tahun 1960an kelompok orkes melayu memainkan lagu dan musik berirama melayu. Namun pada paruh kedua 1960an terdapat pergeseran kearah musik industan. Di indonesia, kepopuleran orker melayu dilanjutkan pula oleh genre musik pop melayu.

Kepopuleran orkes melayu secara nasioanl kemudian mendorong populernya berbagai bentuk seni musik serupa diberbagai daerah berbasis etnis melayu di indonesia. Salah satunya adalah kesenian senjang, yaitu suatu penampilan seni yang terdiri dari unsur musik, pantun sebagai lagu dan dimeriahkan dengan joget atau lari. Pantun senjang terdiri dari empat hingga sepuluh bait, serta terdiri dari tiga bagoan yaitu pembuka, isi dan penutup (Virganta da Sunarto, 2016: 35). Meskipun kesenian senjang dibentuk oleh tiga unsur, namun seluruh unsur seni di dalam senjang tidak dimainkan serentak. Tidak selarasnya (senjang) antara musik dan vokal dalam penampilan, menjadi dasar penamaan kesenian ini.

Senjang berasal dari kecamatan sungai keruh sekitar abad ke 17 masehi, yaitu pada zaman kedatuan. Kemudian kesenian ini berkembang ke daerah lain dalam wilayah Musi Banyuasin seperti ke wilayah babat toman. Sanga desa dan terus ke sekayu. Di wilayah Musi Rawas sendiri kesenian senjang sudah ada sejak sebelum masa kemerdekaan. Awalnya senjang ditampilkan tanpa menggunakan alat musik, hanya berbentuk pantun bersahutan sebagai ungkapan hati. senjang dimainkan di balai-balai desa dengan diiringi alat musik kenong. Kemudian pada masa kekuasaan Belanda memasuki pedalaman Sumatera, kesenian senjang mulai diiringi dengan alat musik tanjidor. Pada masa ini alat musik yang digunakan adalah dua buah terompet, sebuah jidor, sebuah tambur, dua buah klarinet, dua buah saxophone tenor, dua buah saxophone alto, sebuah kontra bass dan tiga buah alto horn. Pada tahun 1998 instrumen musik senjang di Musi Banyuasin dan Musi Rawas mulai menggunakan keyboard, maka sejak saat itu perangkat alat musik jidor tidak lagi digunakan. Virganta dan Sunarto (2016: 35) mengatakan, meskipun musik senjang telah berkembang menggunakan orgen tunggal, namun bentuk musiknya masih sama.

Baca juga: Menyelami Logika Digitalisasi melalui Pelestarian Kesenian Wayang Kulit

Memori kolektif masyarakat Terusan mengenai kemeriahan kesenian senjang terbatas pada era 1950-an. Abdus Somad misalnya, lelaki tua kelahiran 1947 itu masih mengingat dengan baik bagaimana meriahnya kesenian senjang di Terusan akhir era 1950-an. Pada masa itu ia aktif mengikuti kesenian senjang di seluruh wilayah Terusan. Abdus Somad juga masih ingat nama-nama pemain musik senjang pada era 1960-an. Seperti Zahudi, Abdul Kadir dan M Yusuf merupakan pemain biola terkenal di Terusan. Bahkan M Yusuf masih hidup sampai saat ini. Tukang joget yang terkenal pada masa itu adalah Zainul warga Danau Umbat. Penyanyi senjang yang terkenal pada era 1960an bernama Hasan. Ia terkenal sering membawakan lagu selendang mayang dan pantun senjang. Menurut Somad, pantun senjang yang dibawakan Hasan selalu pantun sedih dan membuat penonton menangis.

Meskipun para seniman di Terusan tidak mengetahui hubungan senjang di Terusan dengan senjang di Sumatera Selatan, kemungkinan keduanya memiliki keterkaitan. Menurut Zuhdi, hingga akhir era 1980an ia masih melihat para pedagang dari Ogan Komering sering datang ke Terusan menggunakan pompong kecil. Mereka umumnya berjualan pakaian dengan cara menjajakan dari rumah ke rumah. Dalam satu gelombang kedatangan, pedagang dari Komering ini bisa berjumlah hingga 30 orang. Para pedagang ini biasanya menetap di Terusan selama satu bulan, kemudian melanjutkan perjalanan ke hulu. Keterangan Zuhdi ini sejalan dengan keterangan Margono, dkk (1984: 58) bahwa daerah kalbu yang 12, (termasuk Terusan) merupakan wilayah perdagangan yang banyak dikunjungi pedagang dari berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa Terusan merupakan daerah yang terbuka sehingga sangat mungkin ada hubungan antara senjang di Terusan dengan di Sumatera Selatan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

three + three =

Latest Comments