Jadah dan Tempe merupakan dua jenis makanan yang telah diolah dan bisa disantap secara terpisah. Jadah dan Tempe tidak jarang pula disajikan dengan memadukan jenis masakan yang lain. Jadah Tempe menjadi jenis perpaduan dua jenis makanan yang membentuk gambaran baru yang menyatu. Gambaran tersebut dapat menyatakan ungkapan rasa yang yang tidak melebur sebagai satu senyawa tetapi masing masing masih menunjukkan karakternya masing-masing. Hal ini mengandung nilai bagaimana sebuah keharmonisan terbentuk tanpa meninggalkan identitas masing-masing. Keunikan jadah tempe terletak pada kekontrasan rasanya. Jadah yang lembut dan gurih bersanding dengan tempe bacem yang memiliki tekstur kasar dan mengandung rasa manis khas Yogyakarta. Jika disantap sendiri-sendiri, jadah atau tempe bacemnya saja maka tidak akan muncul perpaduan cita rasa yang khas. Namun, apabila dinikmati bersamaan dengan cara meletakkan tempe di atas jadah, atau tempe diapit di antara dua jadah, maka akan muncul cita rasa unik perpaduan gurih, manis, dan legit, apalagi jika disertai cabai rawit. Penelusuran ke belakang tentang keberadaan jadah diketahui dari kisah- kisah dalam Serat Centhini sebagai karya besar sastra Jawa lama yang banyak mengandung berbagai macam pengetahuan, termasuk makanan tradisional. Dikisahkan dalam perjalanan Jayengresmi ke Pandhangeyan sampai di hutan. Pada waktu itu ketika waktu shalat Asar tiba berhenti di pinggir kedhung untuk melaksanakan shalat Ashar. Setelah melaksanakan shalat kemudian beristirahat di kedhung. Ki Nuripin membuka bekal yang dibawa, berupa juadah, jenang, pisang, pepaya, ketan komoh, dan jambu biji (Pupuh 540 Gam.: bait 1-5, dalam Sunjata, W.P., dkk., 2014: 76).
Sejarah tempe dapat dimulai dari perkembangannya di Jawa dilihat pada Serat Centhini jilid III, kata tempe dapat ditemukan dalam bagian perjalanan mas Cebolang yang singgah di Dusun Tembayat. Mas Cebolang dijamu makan siang oleh Pangeran Tembayat dijelaskan dalam cuplikan “….brambang jae santen tempe, cupang sambele jagung, dhedhakohan sambel-kemiri, asem sambel lethokan, plapah sambel-kukus, untub-untub, sambel-brambang, loncom jenggot bobot bubuk-dhele jemprit..” (Pupuh 234 Dandanggula, bait 40-44, dalam Gardjito-Murdijati, dkk., 2020:142). Dalam cuplikan tersebut disebutkan sambel lethokan atau saat ini dikenal dengan sambel tumpang dibuat menggunakan tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Dalam buku lain di pupuh yang sama dikisahkan tentang Mas Cebolang bersama keempat santrinya singgah di rumah Pangeran Tembayat dan diberi hidangan makanan, yang menyebutkan tempe dan beberapa jenis makanan lainnya (Pupuh 234, Dha.: bait 40-44, dalam Sunjata, W.P., dkk., 2014: 36).
Pada masa itu, tempe juga dikonsumsi mentah, disamping diolah terlebih dahulu. Hal tersebut dapat diketahui melalui kisah Jayengresmi saat tiba di Wanakarta, yang kemudian disuguhkan makanan, melalui cuplikan “….lombok kenceng lawan petis, lalaban kacang cipir, kecemeh terung lan timun, brambang tempe mentah, kecambah gudhe kemangi, kang rampadan sadaya piring lancaran” (Pupuh 350 Sinom 210-212, dalam Gardjito-Murdijati, dkk.,2020:142).
Baca Juga : Beksan Panji SekarYasan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwana I
Jadah tempe merupakan sebuah kreasi khas Yogyakarta, yang berasal dari Sleman. Ada seseorang yang kemudian terkenal dengan nama Mbah Carik yang mengkombinasikan jadah dengan tempe. Jadah dicetak atau dibentuk menyerupai cakram seperti bulatan yang agak besar di tengahnya dan dikombinasikan dengan tempe bacem. Dari sudut gastronomi, perpaduan jadah dan tempe adalah sebuah harmoni, yang pertama adalah cita rasa Jawa. Baceman itu rasanya manis, asam, gurih, lalu dimakan bersama jadah yang letaknya itu di antara dua keping jadah itu menjadi harmoni cita rasa Jawa yang khas karena manisnya gula jawa. Tempe bacem memiliki tampilan mengkilap karena adanya air kelapa yang dipakai untuk membacem, lalu disajikan dengan dijepit jadah yang gurih menghadirkan harmoni yang sangat khas sehingga sering disebut Javanesse burger.6 Jadah adalah makanan tradisional yang bahannya terdiri dari beras ketan dan kelapa. Dua-duanya adalah tanaman asli Indonesia sehingga campuran antara bahan asli Indonesia ini menjadi makanan tradisional khas Jawa. Jadah dibuat dari beras ketan yang baik mutunya Bahan-bahan membuat jadah meliputi: 1) 400gram beras ketan, direndam selama 2 jam, 2) 75 ml air panas, 2) 200gram kelapa, hilangkan kulit ari (kulit coklatnya), lalu diparut, dan 3) 1 sendok teh garam. Bahan-bahan untuk membuat tempe bacem meliputi: 1) 600gram tempe yang masih bagus, 2) 4 lembar daun salam, 3) 2 cm lengkuas/laos, dimemarkan, 4) 1000 ml air/air kelapa, 5) minyak goreng. Bumbu-bumbu yang dihaluskan, meliputi: 1) 10 butir bawang merah, 2) 3 siung bawang putih, 3) 3 sendok teh ketumbar, 4) 150gram gula merah, disisir tipis, 5) 50gram asam jawa, larutkan dengan sedikit air, 6) 2 sendok teh garam, dan 7) cabai rawit (tidak dihaluskan, hanya jika diperlukan untuk penyajian).
Simbol persatuan yang ada di dunia ini yaitu pasangan dapat di angkat dari makanan Jadah Tempe ini. Masing–masing Jadah dan Tempe menunjukkan karakter bentuk dan rasa masing-masing dan menjadi satu rasa dan sensasi yang saling melengkapi antara kelembutan dan sedikit keras ketika di mulut saat sedang disantap. Sedangkan untuk sayur lodeh merupakan salah satu jenis olahan makanan yang sehat. Unsur protein, vitamin dan mineral yang berguna bagi manusia dapat dijumpai dari bahan-bahan yang untuk membuat jenis sayur ini. Terong, kacang panjang, kulit melinjo, daun melinjo adalah jenis sayuran yang kaya akan berbagai jenis vitamin, tempe, khususnya tempe bosok atau tempe semangit menjadi bahan sayur lodeh khas Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menyertai olahan Sayur Lodeh menjadi bahan penting sumber protein. Bahan utama terutama berupa sayuran bagi masyarakat jawa tradisional mudah untuk dijumpai di pekarangan mereka. Disamping kandungan bahan yang penting bagi kesehatan tubuh, sayur lodeh dipercaya masyarakat Yogyakarta sebagai salah satu jenis olehan makanan untuk tolak bala. Merespon kepercayaan masyarakat terhadap fungsi sayur lodeh dalam menjaga kesehatan, Masjid Pathok Negara Plosokuning sudah melaksanakan memasak sayur tersebut sebagai salah satu upaya yang diyakini menenangkan hati mengusir pageblug atau bala yang saat ini ada. Takmir Masjid Pathok Negara Plosokuning, Kamaludin Purnomo menyebut hal tersebut bukanlah musrik dan menyesatkan lantaran menjadi salah satu kepercayaan warga Ngayogyakarta sejak masa dahulu. Secara rasional cara memasak lodeh yang menggunakan bahan segar dengan tambahan rempah khas Indonesia memiliki keunggulan untuk menjaga kesehatan tubuh. Adapun pesan atau anjuran untuk memasak sayur lodeh tersebut berlanjut dengan menerangkan makna tiap sayur dalam bentuk cangkriman atau permainan kata dalam susastra Jawa, sebagai berikut:
1) Kluwih: kluwargo luwihono anggone gulo wentah gatekne, 2) Cang gleyor: cancangen awakmu. Ojo lungo-lungo, 3) Terong: terusno anggone olehe manembah Gusti. Ojo datnyeng, mung Yen iling tok, 4) Kulit melinjo: ojo mung ngerti njobone ning kudu reti njerone babakan pagebluk, 5) Waluh: uwalono ilangono ngeluh gersulo, 6) Godong so: golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh babakan agama lan pagebluk, 7) Tempe: temenana olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut: 1) Kluwih: keluarga harus mendapatkan perhatian lebih, 2) Kacang panjang: ikatlah (tahan) dirimu tidak bepergian, 3) Terong: teruskan untuk terus ingat Tuhan. Jangan hanya sepintas lalu (kala ada bencana), 4) Kulit melinjo: jangan hanya tahu luarnya, tapi juga pahami makna suatu bencana, 5) Waluh: hilangkan keluh kesah, 6) Daun melinjo muda: gotong royong, berdoa bersama orang saleh yang banyak ilmu soal agama dan soal bencana, 7) Tempe: bersungguh-sungguhlah meminta pertolongan Tuhan.
No responses yet